Bantuan Hukum

Bantuan hukum berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Terminologi ini sangat sederhana dan tidak menjelaskan apa-apa. Bahwa bantuan hukum, seharusnya dipaparkan tahapan dan batasannya secara limitatif, apakah tahapan pada saat terjadinya peristiwa hukum, pada saat berproses di Pengadilan, ataukah pada saat selesaikannya seluruh tahapan hukum.

Dengan ketentuan yang sangat sumir, yakni hanya memuat 25 Pasal, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 diakui sangat vital bagi terwujudnya supremasi hukum, bagi aparatur hukum, pengacara/advokat, maupun masyarakat para pencari keadilan itu sendiri.

Meski bukan hal yang sama sekali baru dalam praktek penegakan hukum, disahkannya Undang-undang tersebut memiliki peran yang sangat vital dalam memfasilitasi ketersediaan akses kepada masyarakat miskin/tidak mampu mengenai harapan untuk memperoleh keadilan. Karena benang yang hilang dari proses peradilan akibat ketidakmampuan dan ketidaktahuan masyarakat, kini telah tersambung dan terangkai lagi.

Lingkup bantuan hukum yang masih sumir itu lalu dijabarkan menjadi: pos bantuan hukum, jasa advokat, prodeo dan Zitting Plantz. Pos bantuan hukum (Posbakum) merupakan tindakan internal dari Mahkamah Agung melalui Lingkungan Peradilan di bawahnya, sebagai implementasi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2010, adalah cikal bakal bantuan hukum berbentuk pendampingan maupun konsultasi hukum terhadap orang pencari keadilan yang tidak mampu atau tidak mengerti hukum. Meskipun berdasarkan data dari Kemenkumham, Lingkungan Peradilan yang sudah melaksanakan secara efektif posbakum ini adalah Peradilan Agama, akan tetapi pada dasarnya seluruh peradilan sudah mempraktekkan pos bantuan hukum, meskipun secara konseptual dalam artian pada dasarnya telah ada namun, belum secara institusional dibentuk.
Dengan batasan pemberian nasihat hukum terhadap orang-orang yang tidak mampu/tidak mengerti hukum dan beracara di pengadilan, konsep bantuan hukum sejatinya ditujukan agar jangan sampai para pencari keadilan tercerabut hak-hak konstitusionalnya, hanya karena tidak bisa memenuhi syarat-syarat prosedural hukum tertentu. Sehingga, diupayakan dengan adanya Undang-undang Bantuan Hukum ini setiap pencari keadilan bisa memenuhi syarat minimal sebagaimana ditetapkan dalam hukum acara, dan kemudian pada akhirnya terhadap persoalan hukum yang menimpanya tersebut, hanya akan diputuskan berdasarkan pokok perkara/sengketanya, bukan lagi soal formalitas belaka.

Selama ini, pemberian bantuan hukum dilakukan melalui Mahkamah Agung, yakni dengan memberikan pembebasan biaya perkara/prodeo terhadap orang yang tidak mampu/miskin dalam beracara di Pengadilan. Prakteknya, ada sejumlah nominal tertentu yang dialokasikan oleh Mahkamah Agung untuk satu perkara sampai dengan selesai. Dari alokasi inilah, pembayaran biaya perkara dilakukan. Dan dari alokasi ini pula, Advokat mendapatkan kompensasi dari jasa advokasinya. Hal semacam ini, umum dan lumrah terjadi di Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Sedangkan di Peradilan Tata Usaha Negara, terlebih Peradilan Militer, sangat jarang ditemui beracara tanpa pembebanan biaya perkara (prodeo).

Kelak, dengan efektifnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 (meskipun sebenarnya saat ini pun sudah berlaku dan mengikat), pemberian bantuan hukum termasuk alokasi anggaran bantuan hukum, akan dilaksanakan oleh Lembaga Bantuan Hukum melalui Kementerian Hukum dan HAM. Teknisnya, Lembaga Bantuan Hukum yang telah diverifikasi dan dipandang telah memenuhi persyaratan sebagaimana Pasal 8 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 ini. Sehingga kemudian pada dasarnya setiap pihak yang akan berperkara di Pengadilan, akan membayar biaya perkara (tidak ada lagi prodeo) termasuk bagi orang miskin/tidak mampu. Sumber dana dari orang miskin/tidak mampu tersebut, diserap dari alokasi anggaran untuk bantuan hukum yang dipegang oleh LBH. Jadi tak hanya mendapatkan dana untuk membayar biaya perkara, namun juga sepaket dengan jasa pendampingan dan advokasi dari para advokat di LBH tersebut selama proses hukum berlangsung.

Entah ini bentuk progress atau malah regres. Di satu sisi, pelibatan LBH yang note bene adalah institusi di luar eksekutif (Kemenkumham) maupun Yudikatif (Mahkamah Agung dan Lingkungan Peradilan di bawahnya), sehingga akan lebih memunculkan transparansi serta keterbukaan atas kesempatan bagi masyarakat para pencari keadilan dalam pencarian keadilannya. Akan tetapi di sisi lain, dialihkannya anggaran kembali ke Kementerian Hukum dan HAM merupakan langkah mundur sebab akses proses peradilan menjadi kembali domain dari Eksekutif d.h.i Kementerian Hukum dan HAM, bukan Yudikatif lagi.

Bukan hendak memunculkan dikotomi antara Kementerian Hukum dan HAM dengan Yudikatif dalam proses penegakan hukum. Akan tetapi sejatinya, penegakan hukum itu adalah urusan Yudikatif termasuk dalam hal Bantuan Hukum. Eksekutif (c.q. Kemenkumham), semestinya hanya berperan memberikan fasilitas yang memadai, dengan tidak terlibat dalam proses penegakan hukum itu, karena bukan domainnya. Adanya pengalihan anggaran bantuan ini, secara otomatis akan menimbulkan relasi antara LBH dengan eksekutif, yang juga rawan perselingkuhan. Bagaimana bila pihak yang membutuhkan bantuan hukum tersebut bersengketa dengan Eksekutif di Peradilan Tata Usaha Negara? Seberapa obyektifkan Kemenkumham menghadapi persoalan ini? 

Tak dibantah, memang baru di Lingkup Peradilan Agama saja konsep Bantuan Hukum tertuang dengan sempurna dan terlaksana dengan baik. Akan tetapi menyatakan bahwa lingkup peradilan lain tidak mampu mengelola anggaran bantuan hukum, adalah sangat keliru juga. Secara faktual, di lingkup peradilan umum dan peradilan tata usaha Negara pun sebenarnya bantuan hukum telah diberikan dan dilaksanakan. Khusus di lingkup Peradilan Tata Usaha Negara, sosialisasi tentang bantuan hukum belum berjalan sebagaimana mestinya karena berbagai persoalan, keterbatasan sumber daya manusia dan sarana penunjang sebagai akibat dari alokasi anggaran dengan porsi kecil, menjadi penyebab utama. Kegemukan personil maupun anggaran di institusi-institusi eksekutif, semestinya dijadikan perhatian agar terjadi proporsionalitas besaran personil maupun anggaran di eksekutif dan yudikatif. Bukankah bukan rahasia, minimnya personil dan anggaran dari APBN menjadi persoalan serius penegakan hukum karena porsi yang diberikan kepada Yudikatif, sangatlah kecil dibandingkan anggaran untuk kelompok Eksekutif apalagi Legislatif? Jangan kemudian terbitnya UU ini malah menjadi langkah mundur untuk penegakan hukum dan langkah maju untuk kembali memojokkan Yudikatif setelah UU Peradilan anak maupun RUU Mahkamah Agung, dengan “memberatkan” lagi porsi Legislatif atau Eksekutif di bidang penegakan hukum.

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang