Pengerdilan Yudikatif = Pemasungan Hukum

-Apa yang tak membunuh kita. Akan membuat kita semakin kuat-

Bergantinya rezim, tak berpengaruh besar terhadap penegakan hukum di Negara ini. Bila dahulu, hukum dijadikan alat oleh pemerintah untuk menekan dan mengendalikan rakyat demi kelanggengan kekuasaan, sekarang hukum dijadikan alat untuk menegakkan nilai-nilai kebebasan dengan mengatasnamakan rakyat atas nama demokrasi. Herannya, penegakan hukum yang konon menjadi isu utama reformasi tak dibarengi dengan penguatan fungsi peradilan maupun komponen penegak hukum lainnya, melainkan sebaliknya.

Sejak lama hingga kini, keberadaan dan fungsi Yudikatif dibatasi oleh kekuasaan lain. Contoh nyata di era Orde Baru adalah dipasungnya independensi Hakim, dengan menempatkan mereka di bawah Departemen Kehakiman dalam hal administrasi, organisasi dan finansial. Padahal sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, seharusnya Hakim terbebas dari ikatan apapun terkait fungsi dan kewenangannya, termasuk oleh pemerintahan yang mengatur hak-hak finansial maupun karier mereka. Ini tentu bentuk dari intervensi terselubung dari eksekutif. Beruntung dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, semua persoalan terkait badan peradilan termasuk Hakim menjadi berada di bawah Mahkamah Agung.

Tak hanya itu, hal sensitif seperti hak-hak finansial Hakim meski sudah ditetapkan dalam undang-undang, tak kunjung diatur dan diberikan oleh pemegang kewenangan anggaran. Hal ini kemudian terakumulai, dan titik kulminasinya muncul saat Gerakan Hakim yang mengajukan secara tegas tuntutan pemenuhan Hak Konstitusionalnya kepada pemerintah akhir-akhir ini.

Iktikad baik pemerintah juga sangat diragukan, selain karena secara normatif Hak Konstitusional Hakim telah dibatasi dengan dilarangnya Hakim mendapatkan penghasilan (apapun) selain gaji dan tunjangan yang diberikan Negara baik berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (PPH) maupun Undang-undang Pemberantasan Tipikor, hal itu tidak dibarengi dengan kejelasan status Hakim. Ini sangat berkaitan erat karena secara de jure, kedudukan Hakim sebagai Pejabat Negara lebih tinggi dibandingkan dengan kepala pemerintahan semisal Gubernur, Walikota/Bupati bahkan Camat/Lurah, (lihat Pasal 11 Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999). Namun implementasi ketentuan itu jauh panggang dari api. Banyak Hakim yang kehidupan dan penghidupannya tidak lebih baik dari Camat atau Lurah.

Pengekangan terhadap Yudikatif tak sebatas inkonsistensi pemenuhan Hak-hak Hakim sebagai Pejabat Negara, namun juga tercermin dari regulasi terkait pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman. Indikator tersebut diantaranya: Pertama, dibatasinya kewenangan Badan Peradilan untuk melakukan koreksi hukum. Contoh, dalam Undang-undang 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta perubahannya, kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dibatasi oleh beberapa tipikal Keputusan Tata Usaha Negara. Yang diartikan bahwa Badan/Pejabat Tata Usaha Negara bisa digugat, kecuali dalam beberapa hal tertentu. Pembatasan inilah yang menjadi persoalan, sehingga Pengadilan Tata Usaha Negara hanya memiliki kewenangan sempit dan terbatas untuk mengoreksi kekeliruan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dalam melaksanakan tugas pemerintahannya. Singkat kata, dalam persoalan tertentu Badan/Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat diganggu gugat, bahkan oleh Pengadilan sekalipun.

Kedua, persoalan Hukum yang kompleks dan senantiasa berkembang tidak menjadi prioritas dalam penyusunan regulasi oleh Pemerintah maupun DPR. Sejak tahun 1992 draft RUU KUHP baru, sampai sekarang tidak jelas kabarnya. Sampai salah seorang konseptornya Andi Hamzah beberapa waktu lalu menyatakan bahwa, draft RUU KUHP tersebut sudah kadaluwarsa dan tidak sesuai dengan perkembangan hukum sekarang. Padahal KUHP itulah “senjata” bagi Hakim di Peradilan Umum untuk menegakkan hukum dan keadilan. Akan tetapi bagaimana itu bisa dilakukan dengan baik, sementara KUHP yang dipakai adalah peninggalan masa lalu, yang dengan ditambal sana-sini malah menimbulkan persoalan hukum baru. Alhasil, persoalan hukum seperti Nenek Minah, dan pencurian sandal mencuat ke publik. Dan Pengadilan kemudian yang dituding tidak sensitif dengan rasa keadilan. Padahal keadilan yang diputuskan Hakim harus sesuai dengan aturan hukum. Sedangkan menjadi tugas eksekutif serta legislatif-lah disusunnya aturan hukum yang berkeadilan itu.

Contoh lain adalah RUU Administrasi Pemerintah. Karena berpotensi menimbulkan revolusi hukum secara massif terhadap pelaksana urusan pemerintahan dari tingkat terendah sampai Presiden, dengan memberikan kewenangan bagi Peradilan Tata Usaha Negara untuk melakukan koreksi tak hanya atas Surat Keputusan tertulis akan tetapi juga tindakan Pejabat Publik yang melanggar perundang-undangan maupun AAUPB, maka RUU ini pun tak jelas rimbanya dan perlahan dilupakan.

Ketiga, intervensi terhadap kekuasaan kehakiman yang “dilegalkan” dan terlembagakan secara formal. Kekeliruan yang nyata dalam masyarakat, adalah menganggap Komisi Yudisial sebagai institusi untuk melakukan upaya hukum. Menjadi tren sekarang, ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan direspon dengan melaporkan Majelis Hakim pemeriksa perkara ke Komisi Yudisial dengan dalih pelanggaran ini-itu. Semestinya Komisi Yudisial tegas menyatakan bahwa kewenangan mereka sebatas pelanggaran Kode Etik dan PPH, bukan teknis atau substansi putusan. Bukan memperkuat stigma, bahwa merekalah “Polisi” bagi Hakim, yang mencari-cari kesalahan dan memberikan sanksi kepada Hakim.

Yang terkini adalah RUU Mahkamah Agung, dimana ada poin tentang kemungkinan dipidanakannya Hakim bila melakukan kesalahan dalam menyusun putusan. Hal seperti ini jelas mengganggu independensi Hakim dalam memutus. Dimana marwah “wakil Tuhan” untuk menegakkan keadilan, bila kebebasan, hati nurani dan independensinya dibatasi oleh Undang-undang? Padahal Konsitusi secara tegas menjamin independensi tersebut.

Secara a contrario, apakah pemerintah maupun anggota DPR bersedia dipidana, bila Undang-undang yang dibuatnya dinyatakan melanggar hukum oleh MK karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945?

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang