Meluruskan Persepsi tentang Pergerakan Hakim
Reaksi negatif
terhadap pergerakan Hakim-hakim muda, memang gampang ditemukan. Ada komentar
yang menyatakan: Apa bisa menjamin dengan Gaji yang tinggi Hakim tidak akan
menyalahgunakan wewenangnya? Atau pertanyaan seperti: Bukannya Hakim sudah
berpendapatan tinggi, malah minta naik gaji lagi, kalau mau gaji tinggi,
berhenti saja jadi Hakim. Tidak tahu malu, dan tidak sensitif persoalan rakyat
kecil. Seperti itulah intinya komentar-komentar yang kerap didengar.
Memang kompleks
persoalan tentang Hakim ini, terlebih muncul (tepatnya, mencapai titik didih)
bersamaan momennya dengan rencana kenaikan harga BBM, yang berpotensi
meningkatkan jumlah orang miskin di Indonesia. Kenyataan tentang rendahnya
kepercayaan dan penghormatan khalayak terhadap kinerja Badan Peradilan,
diyakini juga mempengaruhi reaksi masyarakat awam terhadap tuntutan dari
Hakim-hakim ini.
Akan tetapi
dengan pemberitaan di media cetak maupun elektronik, baik yang positif maupun
negatif, sebagai pribadi, penulis merasa perlu meluruskan beberapa persoalan:
Pertama, perlu dipahami bahwa Hakim
bukanlah Pegawai Negeri Sipil tetapi Pejabat Negara, sebagaimana diulang-ulang
telah ditegaskan dalam Undang-undang terkait, dan belakangan baru disadari oleh
Menteri PAN & RB, Azwar Abu Bakar. Implikasinya, karena Hakim adalah
Pejabat Negara, Hakim tidak mempunyai hak yang berbeda dengan Anggota DPR,
Menteri dan Pejabat Negara lain. Tapi apa lacur, karena Hakim berada di lingkup
Yudikatif, bukan pengambil kebijakan tentang anggaran seperti halnya Pejabat
Negara dalam lingkup Eksekutif maupun Legislatif, maka pengakuan dan pemberian
hak-haknya pun diabaikan dan disepelekan. Pengabaian ketentuan ini terjadi dari
tahun 2009 sejak diterbitkannya Undang-undang tentang Mahkamah Agung, bahkan
dari tahun 1999 sejak perubahan terakhir Undang-undang tentang Kepegawaian
disahkan, yang menentukan secara jelas dan gamblang bahwa kedudukan Hakim
adalah Pejabat Negara.
Kedua, apa yang dituntut oleh para
Hakim, bukanlah hak-hak yang sebelumnya tidak ada, bukanlah hak yang ujug-ujug ada, bukanlah hak yang sengaja
diada-adakan dan dipaksa ada, bukan pula hak yang diambil dari perampasan
hak-hak orang lain. Akan tetapi hak yang sejak tahun 2009, telah disepakati
keberadaannya oleh DPR dan Presiden, di dalam Undang-undang Nomor 49 Tahun
2009, Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, maupun Undang-undang Nomor 51 Tahun
2009. Sehingga perlu ditegaskan, hak-hak yang dituntut oleh para Hakim ini
merupakan konsensus atau kesepakatan antara para Anggota DPR RI sebagai Lembaga
Legislatif bersama dengan Presiden selaku Eksekutif. Jadi, sangat keliru
anggapan bahwa para Hakim ini hanya ikut-ikutan, dan tidak memperhatikan
dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat dengan menuntut kenaikan Gaji dan
Tunjangan di tengah hiruk pikuk kesenjangan dan persoalan sosial Negara ini.
Ketiga, yang diminta oleh para Hakim,
adalah pemenuhan Hak-hak konstitusional Hakim sebagai pejabat Negara,
sebagaimana telah dituangkan dalam undang-undang tersebut di atas. Tidak
kurang, dan tidak lebih. Namun yang patut disesali, yang mengemuka adalah bahwa
Hakim minta naik gaji dan tunjangan, sehingga kesan yang ada, Hakim itu
mengemis-ngemis minta belas kasihan kepada pemerintah supaya mau menaikkan gaji
dan tunjangannya. Sangat keliru tajuk-tajuk yang dipakai, bahwa Hakim menuntut
Kesejahteraan. Yang benar adalah Hakim menuntut hak-hak konstitusionalnya
sebagai Pejabat Negara diakui dan dipenuhi Pemerintah.
Keempat, soal etis dan tidak etisnya
mogok sidang. Banyak perdebatan tentang mogok sidang yang rencananya akan
dilakukan oleh para Hakim apabila tuntutannya itu tidak dipenuhi. Dan sebagian
ada yang mengatakan tidak etis apabila Hakim sampai mogok sidang untuk menuntut
hak-haknya. Akan tetapi kembali lagi kepada fakta, lebih tidak etis mana Hakim
yang mogok sidang demi ditegakkannya perintah undang-undang, dengan tindakan
pemerintah yang konon diisi oleh orang-orang cerdas dan pakar dalam berbagai
bidang, atau anggota DPR yang pandai beretorika dan bemain kata-kata, tetapi
malah membiarkan amanat di dalam undang-undang diabaikan, bahkan sampai 3
tahun? Kekhilafan dan pembiaran pelanggaran terhadap undang-undang dalam jenis
apa itu?
Integritas itu
memang soal pribadi Hakim. Sama halnya dengan menganggap: Sebesar apapun gaji
seorang Hakim, bila dia tidak berintegritas maka ia akan tetap korup. Akan
tetapi sangat keliru, menanggapi dengan sikap seperti: “Sudah, Gaji Hakim kecil
tidak apa-apa, toh kalo mereka
berintegritas tinggi, mereka tidak akan menyalahgunakan wewenang yang ada
padanya”. Meski sering disebut Wakil Tuhan, Hakim pun Manusia. Butuh
penghidupan yang layak, baginya dan keluarganya.
Benar,
integritas Hakim tidak dapat diukur dengan fasilitas atau sebanyak apa hak-hak
yang telah diberikan Negara padanya. Integritas juga kadang tidak bisa
“dimunculkan” dengan gaji selangit sekalipun. Akan tetapi menjadi tugas
Negara-lah, menjaga integritas itu tetap ada dan melekat erat pada setiap
aparat penegak hukum di Indonesia. Jangan sampai integritas yang telah ada,
perlahan melemah dan hilang semata-mata karena benturan ekonomi.
Pengadilan
adalah muara dari seluruh proses hukum. Dan Hakim menjadi benteng terakhir dari
penegakan hukum itu. Selama pihak yang berwenang, abai dalam pemenuhan hak-hak
konstitusional Hakim. Selama itu pula celah tersebut akan dimanfaatkan oleh
para Mafia Hukum untuk mencederai penegakan hukum di Negeri ini.
Comments
Post a Comment