Mengukur Kinerja Pengadlan
Tidak
pernah ada parameter yang jelas untuk mengukur seberapa optimal dan efektif
peranan pengadilan dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal ini tentu terkait
erat dengan fakta bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dari
pengaruh manapun, pengaruh pihak manapun.
Akan
tetapi banyak pihak yang mencoba-coba mengukur kinerja pengadilan tersebut
dengan parameter yang tidak jelas, bahkan cenderung mengada-ada. Masih teringat
dengan jelas beberapa waktu ke belakang tentang banyaknya putusan bebas oleh
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah, yang memantik reaksi dari LSM
maupun Lembaga Legislatif, yang pada intinya mengusung satu suara yakni kinerja
Pengadilan, khususnya Hakim adalah buruk dan patut dipertanyakan.
Juga
kasus-kasus seperti pencurian oleh Nenek Minah, pencurian sandal jepit dan
sebagainya, yang dianggap oleh khalayak ramai sebagai cermin dari tidak
sensitifnya pengadilan terhadap rasa keadilan masyarakat dan terkesan
pilih-pilih dalam memberikan putusan demi keadilan. Ini juga lalu dijadikan
indikator yang kurang baik bagi kinerja pengadilan.
Suara
sumbang yang terdengar tentang kinerja Badan Peradilan, seperti dari Ketua
Komisi III DPR RI terasa sangat menyakitkan bagi Korps
Hakim. Parameter
seperti apakah yang dipakainya, sehingga menyimpulkan kinerja Peradilan tidak
memuaskan? Apakah dengan memastikan semua terdakwa yang diajukan itu dihukum,
maka baru bisa dibilang memuaskan? Atau memastikan semua rakyat biasa yang
terkena tindak pidana “kecil” dibebaskan, baru bisa dikatakan memihak kepada
keadilan?
Hal yang alpa diingat adalah, proses peradilan merupakan
rangkaian dari berbagai institusi tak melulu domain Pengadilan. Kepolisian,
Kejaksaan atau KPK, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Jadi sangat dangkal
membebankan segala kesalahan sehingga orang seperti Nenek Minah bisa diproses
di Pengadilan, semata-mata kepada Pengadilan. Karena pada hakikatnya Pengadilan
c.q. Hakim tidak boleh menolak
mengadili Perkara. Dan sangat dangkal pula menyalahkan Majelis Hakim yang
memutus bebas terdakwa korupsi, tanpa mengkaji bagaimana kualitas dan
kesungguhan Jaksa/KPK menyusun Dakwaan atau Polisi dalam menyusun Bukti dan
BAP.
Pun halnya ketika Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran
tentang Pembatasan Penahanan Tindak Pidana Ringan, publik ramai-ramai mengecam
tindakan sepihak itu. Seraya mengabaikan peranan dan kewenangan DPR sebagai
pihak yang seharusnya sejak dahulu menyusun revisi KUHP, sehingga persoalan
seperti Nenek Minah dan kasus-kasus kecil lainnya tak perlu sampai ke
Pengadilan. Padahal seharusnya DPR meng-update
aturan dalam KUHP dan melaksanakan fungsi aslinya, alih-alih sibuk dengan
hiruk-pikuk politik dan senantiasa mengurusi persoalan kepentingan tanpa henti,
atau membentuk tim pengawasan (atau nama lainnya) yang berpotensi mencampuri dan mengintervensi
kekuasaan yudikatif.
Keengganan dan tidak produktifnya DPR dalam menyusun
Undang-undang, merupakan parameter jelas untuk mengukur kinerja mereka. Karena
sebagai badan legislatif, tentu fungsi utamanya adalah menyusun regulasi sebaik-baiknya
untuk mengatur dan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat. Hanya
menyelesaikan 2 RUU menjadi Undang-undang dari 12 RUU dalam rentang
Januari-April 2012, mungkin dianggap sudah sangat memuaskan oleh Ketua Komisi
III DPR Benny K. Harman, dibandingkan diselesaikannya ribuan kasus dan sengketa
oleh semua Badan Peradilan di seluruh Indonesia per bulannya.
Yang patut dipahami dengan seksama adalah, Kekuasaan
Kehakiman yang diejawantahkan oleh Badan Peradilan dan dilaksanakan oleh Hakim
sesuai dengan konstitusi adalah Kekuasaan yang independen dan merdeka. Nilai
keadilan dan hukum yang digali oleh Hakim dalam prosesnya, merupakan
implementasi dari tafsiran-tafsiran hukum dengan kebijaksanan dan kearifannya,
yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi jelas, responsibilitas Hakim
dalam memutus ialah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukan parameter banyaknya pihak
yang dapat dihukum, atau banyaknya rakyat kecil yang dibebaskan demi hukum. Adalah
keliru ketika mengartikan keadilan harus memihak kepada rakyat kecil. Sama
kelirunya dengan mengartikan bahwa Pengadilan harus menghukum seberat-beratnya
terdakwa koruptor, dsb. Hukum dan keadilan tidak boleh memihak kepada siapapun,
kecuali kepada Hukum dan keadilan itu sendiri.
Akan tetapi, dengan tipikal pertanggungjawaban seperti
itu bukan berarti Hakim bisa melakukan kewenangan yang melekat padanya dengan
seenaknya. Hakim pun dibatasi Kode Etik serta Pedoman Perilaku yang harus
dipatuhi. Lebih dari itu, sebagai warga Negara kedudukan Hakim pun sama di depan
hukum. Sehingga manakala terbukti melanggar hukum, pengenaan tindakan hukum
terhadapnya pun bukanlah suatu pengecualian.
Sehingga sama sekali tidak tepat apabila mengukur kinerja
Badan Peradilan, semata-mata mendasarkannya pada berapa banyak perkara yang
diterima, atau berapa banyak orang yang telah dihukum. Sebab, pengadilan tidak
menjemput ataupun menargetkan berapa banyak perkara yang ditangani, akan tetapi
bila sudah masuk ke pengadilan, maka harus diperiksa dan diputus sesuai dengan
hukum yang berlaku.
Comments
Post a Comment