Contempt of court
Undang-undang
Dasar 1945 mengamanatkan dengan jelas dan tegas bahwa kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan yang merdeka, yang artinya terbebas dari segala bentuk
pengaruh dan intervensi dari luar terhadap penyelenggaraan peradilan. Adanya
pengaruh dan intervensi dari luar terhadap penyelenggaraan peradilan, tentu
akan menyebabkan badan peradilan menjadi tidak merdeka dan cenderung memihak
pada salah satu subyek tertentu. Akan halnya bentuk dari pengaruh dan
intervensi itu pun beragam. Tindakan suap dan gratifikasi secara formal sudah
terlembagakan pencegahan dan penindakkannya dengan kehadiran Undang-undang
Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi bila itu berbentuk pengancaman fisik atau
tekanan psikis, regulasi yang dapat dikenakan terhadapnya masih belum ada.
Dengan
eksklusivitas semacam itu, maka menjadi suatu hal yang sangat vital ketika
badan peradilan memiliki privilege terhadap pengaruh dan intervensi luar, untuk
memastikan bahwa penyelenggaraan peradilan telah berjalan sebagaimana mestinya
dan sesuai sistem hukum yang benar. Sebab rentannya badan peradilan dipengaruhi
dan diintervensi anasir-anasir dari luar, akan menjadi parameter yang kasat
mata dari berjalan atau tidaknya penegakan hukum suatu negara. Dan bila badan
peradilan sudah identik dengan pengaruh dan intervensi dari luar yang
menyebabkan badan peradilan tidak lagi independen, maka dengan sendirinya
kepercayaan para pencari keadilan akan luntur dan wibawa pengadilan ada lenyap.
Tindakan
mempengaruhi dan mengintervensi badan peradilan, tak hanya kerap dilakukan oleh
para pihak yang bersengketa di pengadilan. Selain mereka yang memiliki
kepentingan langsung terhadap suatu sengketa, terkadang ada pihak lain juga yang
sadar atau tidak telah melakukan tindakan mempengaruhi dan mengintervensi
jalannya peradilan, dengan dalih bermacam-macam. Ada yang mengatasnamakan
kemanusiaan, ada pula yang mengatasnamakan keadilan itu sendiri. Sehingga
secara tidak sadar pihak-pihak tersebut telah melakukan perbuatan yang
menghinakan pengadilan atau contempt of
court.
Penjelasan Umum butir 4 Undang‐undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, menyebutkan: ʺuntuk
dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik‐baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu
undang‐undang yang mengatur penindakan terhadap
perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan
merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal
sebagai contempt of courtʺ.
Blackʹs Law Dictionary, menyebutkan bahwa contempt of court adalah
setiap perbuatan yang dapat dianggap mempermalukan, menghalangi atau merintangi
tugas peradilan dari badan‐badan
pengadilan, ataupun segala tindakan yang dapat mengurangi kewibawaannya atau
martabatnya. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang/sekelompok orang yang
dengan sengaja menentang atau melanggar kewibawaannya atau menggagalkan tugas
peradilan atau dilakukan oleh seseorang/sekelompok orang yang menjadi pihak
dalam perkara yang diadili, yang dengan sengaja tidak mematuhi perintah
pengadilan yang sah.
Menurut Hasbullah
F. Syawie, contempt of court dapat diartikan sebagai suatu perbuatan
yang sungguh secara sengaja dilakukan, yang dipandang dapat mempermalukan
kewibawaan dan martabat pengadilan atau merintangi pengadilan di dalam
menjalankan peradilan yang dilakukan oleh seseorang sebagai pihak yang
berperkara maupun oleh orang lain yang bukan pihak dalam berperkara.
Contempt of court
di masa sekarang, berada pada titik yang
sangat absurd dan kurang jelas.
Konsep yang menjiwainya sering dikaburkan dan dikonfrontasikan dengan prinsip
transparansi, kontrol yudisial maupun kebebasan mengeluarkan pendapat atas nama
demokrasi dan reformasi. Contempt of
court yang pada mulanya merupakan konsep untuk mencegah
dipengaruhi dan diintervensinya peradilan, semakin bergeser dan ditepikan oleh
ide kontrol terhadap kekuasaan yudisial baik yang terlembagakan secara formal,
maupun oleh publik dan masyarakat umum secara langsung.
Oemar Senoadjie[1]
berpendapat bahwa perbuatan contempt of court ditujukan terhadap ataupun
berhadapan dengan ʺadministration
of justiceʺ, rechtpleging (jalannya peradilan). Yang secara umum
dikategorikan menjadi:
1. Misbehaving in court; merupakan perbuatan atau tingkah
laku yang secara tidak tertib, memalukan, atau merugikan, mengganggu jalannya
proses peradilan yang seharusnya dari pengadilan. Pelanggaran jenis ini dapat
berbentuk penghinaan terhadap hakim, pemukulan yang dilakukan terdakwa terhadap
saksi, tidak mau berdiri ketika majelis hakim memasuki ruang pengadilan ataupun
penasehat hukum yang tidak menunjukkan sikap hormat terhadap pengadilan.
2. Disobeying a court order; terjadi apabila perbuatan yang
seharusnya dilakukan ataupun tidak dilakukan oleh seseorang yang diperintahkan
ataupun diminta oleh pengadilan dalam menjalankan fungsinya tidak dapat
dipenuhi oleh seseorang yang diperintahkan itu. Hal ini secara analogi juga
dapat dikenakan terhadap Putusan yang seharusnya dijalankan oleh orang, badan
hukum perdata bahkan badan hukum publik (badan/pejabat tata usaha negara) yang
tidak melaksanakan putusan pengadilan.
3. The sub judice rule; suatu aturan umum (general
rule) yang menyatakan bahwa tidak
diperbolehkan publikasi untuk mencampuri peradilan yang bebas dan tidak memihak
untuk suatu kasus yang sedang atau akan diperiksa di pengadilan. Hal ini dapat dihindari apabila dalam
mengadakan pemberitaan atau komentar itu dilakukan secara wajar dan tidak
memihak yang merupakan hasil investigasi yang akurat (fair and accurate reporting).
Oleh karena itu, untuk menghindari adanya trial by the press dalam
pemberitaan dan komentarnya, media massa seharusnya tidak memuat pemberitaan
yang bersifat mendahului (prejudicial) atau memberikan ilustrasi yang
menggambarkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak mempunyai kesalahan sama
sekali sebelum adanya keputusan yang pasti.
4. Obstructing justice; berbentuk
penentangan terhadap perintah pengadilan secara terbuka maupun penyuapan
terhadap saksi atau mengancam saksi agar tidak memberikan keterangan ataupun
memalsukan keterangan yang diberikan.
5. Scandalizing the court; Ruang
lingkup contempt by scandalizing the court meliputi tuduhan yang secara langsung
ditujukan pada hakim tertentu atau pejabat pengadilan dan kritik-kritik
terhadap keputusan dari pengambil keputusan. Jadi, ruang lingkup contempt by
scandalizing the court tidak hanya
ucapan atau kata‐kata
yang dapat menurunkan atau merendahkan martabat hakim atau pengadilan tetapi
meliputi pula kritik atau pernyataan yang dapat mempengaruhi proses peradilan
pada masa yang akan datang.
Jenis contempt of court yang kerap terjadi dan dilakukan terhadap
Pengadilan di masa sekarang dengan merujuk pada pengkatagorian dari Oemar Seno
Adjie tersebut di atas adalah jenis disobeying a court order, the sub
judice rule dan scandalizing the court. Hal ini mungkin
muncul seiring dengan era kebebasan berkumpul & berpendapat dari segala
lapisan masyarakat, juga sebagai akibat langsung dari masa reformasi yang
langsung atau tidak, meniadakan sekat-sekat pembatas opini, kekebasan pers
sekaligus ajang unjuk gigi dan kekuatan antar kelompok bahkan antar lembaga
negara.
Disobeying a court order
Pengabaian
terhadap panggilan dari pengadilan, kerap dilakukan oleh pihak yang merasa
tidak pantas dihadirkan di pengadilan. Dan biasanya ini terkait kedudukan
dirinya, entah dalam struktur pemerintahan ataupun strata sosial
kemasyarakatan. Padahal telah jelas ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1)
Undang-undang Dasar 1945, bahwa: “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, tidak peduli itu
Rakyat atau presiden, tidak peduli itu Penjahat atau pejabat. Setiap warga
negara harus menjunjung tinggi hukum, tanpa kecuali. Dan tidak dapat dibantah
pula, pengabaian terhadap panggilan dari pengadilan baik itu sebagai saksi yang
dimintai keterangannya, maupun sebagai pihak yang bersengketa, merupakan pengabaian
terhadap hukum dan pemerintahan, juga secara otomatis merupakan pengingkaran
terhadap ketentuan Undang-undang Dasar 1945.
Contoh konkritnya adalah, sering
ditemui dalam praktek bahwa Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang dipanggil ke
persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara, mengabaikan panggilan itu dengan
dalih “merasa tidak pantas diadili” atau dalih-dalih lainnya. Hal ini secara
praktek dapat dimaklumi apabila Badan/Pejabat Tata Usaha Negara itu
berkedudukan sebagai pihak yang bersengketa, kemudian menguasakan kepada
bawahannya atau kuasa hukumnya. Akan tetapi menjadi masalah ketika
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara itu dimintakan kesaksiannya dalam persidangan,
dan malah mengirimkan bawahannya untuk memberikan kesaksian. Dimana
relevansinya seorang bawahan menjadi saksi dari atasannya? Padahal seorang
saksi berkewajiban memberikan keterangan atas hal yang diketahuinya,
dilihatnya, dirasakannya dan didengarnya secara langsung. Hal ini sejalan
dengan ketentuan dengan ketentuan Pasal 93 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986,
bahwa: Pejabat yang dipanggil sebagai
saksi wajib datang sendiri di persidangan. Akan sangat menghinakan
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara itu sendiri apabila harus dipaksa datang ke
persidangan dengan upaya paksa, berdasarkan ketentuan Pasal 86 ayat (2)
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang menyebutkan: Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan meskipun telah dipanggil dengan patut dan Hakim cukup
mempunyai alasan untuk menyangka bahwa saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua
Sidang dapat memberi perintah supaya Saki dibawa oleh polisi ke persidangan.
Ini bukan kehendak Pengadilan, ini kehendak Undang-undang. Akan tetapi dengan
mempertimbangkan kewibawaan dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, sering
ketentuan itu tidak digunakan. Sebagaimana “bandel”nya pun Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara menanggapi panggilan dari Pengadilan.
Terlebih dalam pelaksanaan putusan pengadilan. Jiwa dari
pengadilan adalah adanya kepastian hukum dari pelaksanaan putusan pengadilan.
Alangkah malangnya apabila Putusan dari suatu badan peradilan -yang merupakan
manifestasi kekuasaan kehakiman yang merdeka-, tidak diindahkan bahkan tidak
dianggap suatu hal yang patut dilaksanakan. Dan alangkah rendahnya moralitas
orang ataupun pihak yang menganggap putusan pengadilan adalah hal biasa,
dokumen tertulis yang tidak berharga serta persoalan remeh, yang tidak perlu
ditanggapi secara serius apalagi dilaksanakan dengan benar-benar.
Putusan pengadilan, adalah hukum yang terbentuk –judge made law-, karena tidak sembarang
orang bisa menjadi Hakim, tidak sembarang orang juga bisa membentuk hukum.
Karena putusan pengadilan itu merupakan hukum, maka tidak ada alasan bagi
siapapun untuk mengabaikan pelaksanaannya. Adalah naif ketika Satuan Polisi
Pamong Praja atau instansi lain menggebu-gebu membongkar lapak-lapak pedagang
di pinggir jalan, dan tak jarang melakukan kontak fisik secara langsung dengan
mereka, dengan alasan menegakkan hukum yang dibuat di daerah. Akan tetapi
sangat tidak dapat diterima oleh akal sehat, ketika Satuan Polisi Pamong Praja ataupun
instansi lain menolak mentah-mentah, pelaksanaan suatu putusan pengadilan,
semata-mata karena putusan pengadilan itu dianggap merugikan (secara materiil)
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, yang menjadi atasannya. Itukah jiwa dari
penegakan hukum?
Persoalan putusan terkait lahan di samping lapangan Gasibu, adakah
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang terkait itu mengakui adanya penegakan
hukum dengan mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum? Bukankah
pengabaian terhadap putusan pengadilan merupakan Contempt of court? Atau dalam persoalan lain, sengketa perijinan
Gereja Yasmin. Terlepas dari resistensi masyarakat setempat yang berbau SARA,
bukankah itu persoalan yang mau tak mau harus dilaksanakan, karena merupakan
hukum yang telah dibuat? Dan bukankah tindakan tidak melaksanakan putusan yang
telah berkekuatan hukum itu juga merupakan pengabaian terhadap penegakan hukum,
dan itu bentuk dari contempt of court juga?
The sub judice rule
Ada pendapat yang menyatakan bahwa selain kekuasaan Eksekutif,
Legislatif dan Yudikatif dalam Trias Politika, ada pula kekuatan lain yang
menjadi penyeimbang, yakni pers. Menggeliatnya peranan pers setelah terkekang
selama lebih dari 3 dekade, merupakan sinyalemen positif dalam kehidupan
berdemokrasi. Akan tetapi ini juga menjadi masalah ketika pers dengan mudah
masuk dan menjadi variabel yang sangat mempengaruhi proses peradilan.
Meskipun dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dinyatakan
bahwa:
Pasal 4 ayat (1):
Kemerdekaan pers
dijamin sebagai hak asasi warga negara.
Pasal 4 ayat (2):
Terhadap pers
nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Akan tetapi apabila itu menyangkut persoalan hukum yang akan,
sedang maupun telah diperiksa, Pers tidak bisa menjadikannya persoalan publik.
Sebab akan hal itu telah ada jalur dan sistem yang sah dan legal, sebagaimana
sistem dan prosedur hukum yang berlaku. Dan bertentangan dengan ketentuan Pasal
5 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi:“Pers nasional berkewajiban memberitakan
peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa
kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”.
Pers, berperan dalam menyampaikan pemberitaan kepada masyarakat,
termasuk persoalan hukum yang tengah terjadi. Yang menjadi persoalan adalah
ketika pers memberikan pemberitaan yang berlebihan terhadap suatu persoalan
hukum padahal belum jelas kedudukan persoalan hukum yang sebenarnya, sebab
masih diperiksa di pengadilan. Kelirunya, dengan adanya kebebasan berpendapat
melalui pers, masyarakat seolah mendikte dan membuat peradilan sendiri terhadap
persoalan hukum yang baru akan ataupun tengah diperiksa pengadilan. Dan tak
ayal, pers pun berperan dominan dalam membuat pencitraan dan penggerakan opini
publik terhadap persoalan hukum yang tengah diperiksa di pengadilan. Contoh
nyata adalah kasus pencurian sandal yang dilakukan seorang anak di Palu yang kemudian
diadili Pengadilan Negeri Palu. Pers dan masyarakat seolah berlomba memberikan
dan mengadakan pengadilan atas tindakan pencurian itu, dan secara tidak
langsung juga menekan agar Pengadilan membebaskan anak itu dari segala tuduhan.
Berulang-ulang hampir semua media massa, baik media cetak maupun
elektronik memberitakan persoalan itu. Pada saat yang bersamaan, acara diskusi
publik baik yang resmi maupun tidak juga berpacu memberikan “putusan” atas
persoalan itu. Ini jelas keliru. Terlepas dari putusan yang diberikan kemudian,
hegemoni penegakan hukum yang berasal dari benak masyarakat diungkapkan dengan
cara yang keliru. Selain karena persoalan hukumnya masih tengah diperiksa oleh
Pengadilan, ekspresi kebebasan berpendapat dengan diskusi yang melibatkan
publik, tindakan mengumpulkan sandal dan lain sebagainya, seolah memberikan
tekanan, pengaruh dan intervensi terhadap pemeriksaan di persidangan. Hakim
yang memutus, mau tak mau pasti berada dalam pressure, sehingga jiwa dari penegakan berdasarkan hukum akan
menjadi bergeser karena opini publik.
Pers seharusnya tidak memberikan identifikasi terhadap persoalan
hukum yang masih berlangsung, karena itu akan menimbulkan preseden dan pengaruh
yang kuat bagi masyarakat yang mengamati, melihat, bahkan yang mendengar secara
sepintas lalu sekalipun. Sehingga tidak menimbulkan anggapan bahwa seseorang
adalah bersalah, atau tidak bersalah, sebelum ada putusan yang menyatakannya.
Scandalizing
the court
Hakim adalah manusia biasa, yang
diembani amanah untuk memutuskan dan menegakkan hukum. Itulah yang perlu
dipahami terlebih dahulu. Sehingga kesalahan dan kekeliruan terhadap produk
yang dihasilkannya, pasti ada. Akan tetapi bukan berarti oleh karena adanya
kesalahan dan kekeliruan dari Hakim yang manusia biasa ini, setiap orang berhak
melakukan koreksi dan evaluasi. Melainkan harus menempuh proses hukum dan
aturan yang telah ada.
Adanya Komisi Yudisial, pada
awalnya ditujukan untuk memuliakan Hakim, yakni dengan menjaga harkat, martabat
dan kehormatan Hakim sebagai Wakil Tuhan di bumi. Caranya sebenarnya beragam,
misalnya memastikan bahwa hakim memiliki harkat dan martabat sesuai dengan kedudukannya,
dipenuhi hak-hak dasarnya, dijaga keamanannya dan diberikan fasilitas sesuai
dengan amanat Undang-undang. Atau memelihara
suasana keagungan sekitar lingkungan peradilan dan
memastikan Hakim tidak melakukan
pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Kedua hal ini lebih
bersifat preventif, yang berujung pada tujuan agar penegakan hukum itu berjalan
sebagaimana mestinya. Akan halnya kenyataan di lapangan yang menujukkan bahwa lebih
banyak Hakim yang ditindak dan diberi sanksi atas rekomendasi Komisi Yudisial
sebagai implementasi dari tafsiran mereka terhadap konsep “Memuliakan Hakim”,
itu persoalan faktual.
Pemberitaan yang cenderung untuk
mengurangi kekuasaan dan mempengaruhi tujuan peradilan, pemberitaan yang
dipandang untuk mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap keputusan pengadilan
karena masalah yang dipublikasikan bertujuan untuk merendahkan atau menurunkan
kekuasaan pengadilan secara keseluruhan atau menyatakan keraguan atas
integritas, kehormatan dan imparsialitas hakim dalam melaksanakan tugasnya
dapat dikatagorikan sebagai Scandalizing
the court.
Pengaduan masyarakat terhadap
tindakan Hakim yang dianggap tidak patut, kepada Komisi Yudisial, bisa dianggap
sebagai suatu kontrol yang bisa meningkatkan kualitas penegakan hukum di
Indonesia. Akan tetapi, di sisi lain bisa juga menimbulkan persoalan baru,
yakni “ketakutan” pada diri Hakim untuk memeriksa dan memutus suatu
perkara/sengketa.
Hakim-hakim tertentu, sering
merasa berada dalam tekanan ketika mendengar ancaman akan dilaporkan ke Komisi
Yudisial, atau dinyatakan sedang dipantau oleh Komisi Yudisial. Tekanan-tekanan
ini tentu adalah keadaan yang kasuistis, akan tetapi tindakan reaktif dan
antipati yang kerap dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap Hakim, lebih
berpotensi menyebabkan terganggunya independensi peradilan dalam memeriksa
suatu perkara dan dapat berpeluang
pula mengubah citra pengadilan menjadi hina dan rendah di mata masyarakat.
Tindakan pelaporan Hakim kepada
Komisi Yudisial, dan tindakan pengawasan oleh Komisi Yudisial terhadap Hakim,
maupun pembentukan opini publik dengan melemparkan permasalahan seputar
ketidakprofesionalan hakim di ruang publik, tentu mencerminkan dengan jelas
bagaimana anggapan masyarakat kita terhadap kewibawaan Hakim maupun Pengadilan
secara institusional.
Kritik dan pernyataan olah pihak
lain terhadap Hakim maupun pengadilan secara terbuka, akan merendahkan derajat
Pengadilan sekaligus akan menimbulkan rasa cemas, maupun antipati dari Hakim
yang akan memeriksa suatu perkara. Padahal dalam memeriksa suatu perkara, Hakim
dituntut untuk menggunakan hati nuraninya, dan menepikan persoalan suka atau
tidak suka, bahkan rasa cemas dan takut.
Tindakan yang menunjukkan
ketidakpuasaan, sikap tidak profesional, perasaan antipati, bahkan penghujatan
kepada Hakim maupun pengadilan, baik oleh orang yang berkepentingan, terlebih
oleh Lembaga negara sendiri, apapun itu namanya, termasuk tindakan melecehkan
pengadilan dan termasuk contempt of court.
Pengaturan
tentang Contempt of Court
Regulasi tentang Contempt
of Court sampai saat ini belum ada. Bila kita bertanya mengapa
regulasi itu belum ada? Padahal itu merupakan sesuatu yang vital demi tegak dan
berwibawanya hukum di Indonesia. Bisa kita ambil kesimpulan sementara, bahwa
adanya regulasi tentang Contempt of Court
akan berpotensi merugikan pemerintah. Adanya undang-undang contempt of court
dalam lingkup Peradilan Tata Usaha Negara, secara langsung akan
menimbulkan sanksi konkrit berbentuk pidana,
apabila Badan/Pejabat Tata Usaha Negara tidak memberikan tanggapan positif atas
perintah pengadilan, apalagi bila enggan melaksanakan Putusan Pengadilan.
Selain itu, Contempt of court juga
terkait dengan penguatan kedudukan Hakim, Pengadilan, maupun kekuasaan
kehakiman (yudikatif) secara umum. Sehingga ketika terkait dengan perihal
penguatan kedudukan dan posisi sentral dari kekuasaan kehakiman (yudikatif),
Eksekutif maupun Legislatif seakan alergi dan enggan menetapkan ketentuan yang
ada dengan regulasi yang lebih konkrit dan nyata. Sebab nantinya bila kedudukan
Yudikatif tersupremasi secara de facto maupun
de jure, maka kedua kekuasaan lainnya
tidak lagi bisa seenaknya melakukan tindakan dalam melaksanakan kekuasaannya
masing-masing. Akan lebih ketat pembatasan-pembatasan yang timbul dari
penguatan fungsi Yudikatif dalam sistem ketatanegaraan kita.
Bukan tanpa alasan bila diargumenkan seperti
itu, contoh konkrit adalah Rancangan Undang-undang KUHAP baru, yang dari mulai
tahun 1992 sampai sekarang belum jua disahkan menjadi Undang-undang. Atau Rancangan
Undang-undang Administrasi Pemerintahan, yang tentunya secara langsung
berkaitan dengan penegakan hukum administrasi negara maupun pemerintahan,
karena berpotensi menyulitkan kedudukan dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara,
maka pembahasan terhadapnya pun berlarut-larut, tak kunjung disahkan. Tersalip
oleh undang-undang yang sangat sarat kepentingan politik, seperti Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum maupun Undang-undang Nomor 17 Tahun 2011
tentang Intelijen Negara, dan sebagainya.
Bila paradigma seperti itu tetap dipertahankan,
bagaimana penegakan hukum bisa dilakukan dengan benar dan mendapatkan tempat utama
di dalam masyarakat. Jangan sampai dinyatakan bahwa pengadilan sudah sudah
tidak mampu lagi menjawab setiap persoalan hukum para pencari keadilan,
sementara penguatan kedudukan yudikatif tak jua menjadi prioritas.
[1]
Oemar
Seno Adjie, Contempt of Court (Suatu Pemikiran),
Bahan Prasarana dalam Seminar Tentang Contempt
of Court,
IKAHI 24 Maret 1987 hal 125, BPHN, Naskah
Akademis Peraturan Perundang‐undangan Tentang Contempt of Court,
tahun 1989/1990, hal 30‐31
Mantapp bro.. Masih aktif menulis sampai sekarang?
ReplyDelete