Pengadilan, bukan Penghukuman


Secara sederhana dapat dipahami bahwa Pengadilan adalah institusi khusus yang memang diperuntukan bagi masyarakat untuk mencari keadilan. Soedikno Mertokusumo[1] merumuskan, bahwa pengadilan bukan semata-mata diartikan sebagai badan yang bertugas mengadili, tetapi juga tercakup di dalamnya pengertian yang lebih abstrak, yakni hal memberikan keadilan.
Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, Pengadilan adalah suatu lembaga yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, yang mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang dan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Nomenklatur pengadilan ini telah dipakai sejak Mahkamah Agung berdiri, dimana di dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 maupun Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 dikatakan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi.
Istilah Pengadilan yang merujuk kepada Institusi, maupun Peradilan yang merujuk kepada proses, sama-sama berasal dari akar kata: adil. Keadilan merupakan tujuan akhir yang hendak dituju dari Pengadilan maupun Peradilan. Konsep adil ini yang kemudian sering dipermasalahkan dan kerap pula disalahartikan oleh golongan masyarakat tertentu dengan golongan masyarakat lainnya.
Adil adalah suatu sikap yang tidak memihak atau sama rata, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang, tidak ada pilih kasih.[2] Sebagian ada pula yang mengartikan adil sebagai sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak, berpihak kepada yg benar; berpegang pada kebenaran, atau sepatutnya; tidak sewenang-wenang.[3]
Sementara konsepsi adil menurut para ulama adalah[4]:
1.  Adil bererti meletakkan sesuatu pada tempatnya.
2.  Adil bererti menerima hak tanpa lebih dan memberikan hak orang lain tanpa kurang.
3.  Adil bererti memberi hak setiap orang yang berhak tanpa lebih dan tanpa kurang sesama orang yang berhak dan menghukum orang yang jahat atau melanggar hukum setara dengan kesalahannya.
Daripada ketiga-tiga pengertian yang tersebut dapatlah dirumuskan bahawa keadilan itu:
1.   Menjamin hak individu (diri sendiri dan orang lain).
2.   Menghapuskan kezaliman.
3.   Melaksanakan hukum dengan saksama.
4.   Memastikan orang berkuasa tidak menyalahgunakan kuasa dan orang yang lemah tidak teraniaya.
Atau pengertian adil yang lebih konkrit sebagaimana diatur dalam  Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009, Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009, tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dimana dikatakan bahwa Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum.
Adil ≠ Menghukum
Dari beberapa pengertian tentang adil di atas, daat diambil kesimpulan sementara bahwa adil tidak identik dengan menghukum. Adil lebih dekat kepada bagaimana perlakukan kita terhadap orang yang belum jelas kedudukannya, bisa benar bisa juga salah. Sedangkan menghukum lebih dekat pengertiannya kepada bagaimana perlakukan kita terhadap orang yang jelas-jelas salah.
Bila dilakukan penafsiran bebas secara analogis dari pengertian adil, maka pengadilan pun tidak identik dengan menghukum. Sebab tugas yang utama dari pengadilan adalah mencari dan menegakkan keadilan bukan menghukum atau memberikan hukuman pada seseorang. Sebelum ada putusan yang menyatakan seseorang bersalah, maka perlakuan terhadap orang itu harus sama dengan perlakuan kita terhadap orang yang mencari keadilan. Inilah jiwa dari presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah yang secara tegas dinyatakan dianut dalam sistem hukum Indonesia, khususnya Pidana.
Atas dasar hal itu juga, semestinya publik berpikir jernih bahwa Pengadilan bukanlah institusi yang bisa “mengobral” hukuman, dalam menegakkan hukum dan konsep keadilan itu. Hakim dalam putusannya senantiasa menggali dan mempertimbangkan setiap aspek yang terkait dengan pertimbangan hukum suatu perkara. Apabila dalam setiap putusannya, hakim senantiasa dengan mudah memberikan hukuman, maka dengan sendirinya Pengadilan itu menafikan intisari keadilan yang hendak ditegakkan dalam sistem hukum kita, sekaligus telah menepikan asas praduga tak bersalah dengan mengabaikan konsep audi et alteram partem, yang memungkinkan didengarkannya keterangan kedua belah pihak. Dan secara otomatis pula merusak tatanan hukum yang selama ini terbentuk dan senantiasa disempurnakan oleh praktisi hukum kita.
Apa yang hendak dicapai dan ditegakkan oleh Pengadilan di zaman modern ini, tak hanya melulu tentang apa yang dinyatakan benar dan sah oleh hukum atau peraturan perundang-undangan. Berkembangnya pemikiran masyarakat, juga sejalan dengan berkembangnya konsep keadilan yang sekarang dianggap ada. Tak hanya adanya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan merupakan pun merupakan hal yang diharapkan bisa diwujudkan oleh Pengadilan dalam tiap putusannya.
Memadukan ketiga aspek itu bukan hal yang sederhana, kepastian hukum dan keadilan saja kerap berseberangan, ditambah lagi dengan unsur kemanfaatan dari putusan. Maka hal inilah yang kerap disoroti oleh masyarakat tentang kinerja pengadilan. Sehingga ketika putusan pengadilan dinyatakan tidak mencerminkan keadilan bagi mereka, dikatakanlah Hakimnya korup, atau ketika putusan Hakim bertentangan dengan kemanfaatan dan opini publik, dikatakanlah bahwa putusan itu menyinggung nurani masyarakat dan kepentingan umum. Apalagi bila putusan itu  sama sekali tidak berdasar, maka dianggaplah hakim tidak profesional dan malah melanggar hukum.
Konflik yang kerap timbul adalah ketika konsep keadilan melalui Putusan Pengadilan yang senantiasa didasarkan pada perkembangan dan adaptasi dengan konsep keadilan itu sendiri, sementara masyarakat umum masih tetap bersikukuh dan berjibaku pada anggapan bahwa inti dari keadilan adalah terwujudnya apa yang mereka inginkan. Hal ini tentu subyektif, sebab persoalan dan penyelesaian hukum bukanlah semata-mata soal anggapan benar dari mayoritas masyarakat, atau voting dan jumlah dukungan yang menentukan. Melainkan persoalan penegakan hukum yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan, tanpa menafikan aspek keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat itu sendiri. Dan Hakim dituntut untuk memadukan itu semua demi terrepresetasikannya jiwa dari adil, sebagaimana Pengadilan berkewajiban melaksanakan hukum dengan saksama, dengan benar-benar, bukan atas dasar opini atau tekanan, seperti pengertian adil di atas.
Adil vs Opini Publik
Tatkala mendapati opini yang berkembang, terutama dengan banyaknya vonis bebas terhadap terdakwa korupsi oleh Pengadilan TIPIKOR di daerah, perlu ada hal yang dimaknai dengan benar agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami sistem hukum Indonesia.
Alasan yang mendasari dijatuhkannya suatu putusan adalah, terbuktinya dakwaan atau sebaliknya, tidak terbuktinya dakwaan. Jadi secara imperatif, -meskipun Hakim memiliki kewenangan untuk melakukan interpretasi hukum-, terbukti atau tidaknya suatu dakwaan adalah tergantung pada dakwaan dan alat bukti yang diajukan, baik dari pihak terdakwa maupun Jaksa/KPK.
Putusan bebas yang diberikan sejumlah Pengadilan TIPIKOR di daerah, sudah tentu bukan tanpa alasan yang kuat. Di era seperti ini, dimana tuntutan masyarakat akan pemberantasan korupsi begitu kuat, akan menjadi konyol apabila Majelis Hakim memberikan putusan bebas apabila tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Seyogyanya, orang-orang yang beropini bahwa Pengadilan ataupun Majelis Hakim telah melukai rasa keadilan masyarakat dengan membebaskan terdakwa korupsi itu menelaah, sekuat apa dakwaan yang diajukan oleh Jaksa/KPK dan se-relevan apa pula bukti-bukti dan saksi yang diajukan, sehingga bisa mendukung dakwaan mereka. Jangan asal menilai Hakim tidak profesional atau Hakim yang korup, padahal bisa jadi alasan dibebaskannya itu terletak pada lemahnya dakwaan Jaksa/KPK atau tidak relevannya bukti dan saksi yang diajukan.
Korupsi, apapun bentuknya dan seberapa parahpun akibat yang ditimbulkannya tetaplah suatu tindak pidana. Yang bila ingin diputus dengan benar, harus pula menempuh prosedur sebagaimana tindak pidana yang lain. Harus didakwa oleh dakwaan yang kuat, bukti-bukti dan saksi yang relevan, maka barulah dapat diputus dengan Putusan yang memenuhi rasa keadilan, memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, tanpa mengesampingkan kepastian hukumnya. Itulah jiwa dari “adil” yang hendak diwujudkan oleh Instansi Pengadilan. Bila menginginkan Pengadilan selalu menjatuhkan hukuman kepada setiap terdakwa korupsi (atau perkara pidana lain) yang diajukan, ganti saja nomenklatur Lembaga Pengadilan dengan nomenklatur yang lebih mencerminkan hal itu, yakni Lembaga Penghukuman bukan Lembaga Pengadilan.


[1] Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
[3] http://www.artikata.com/arti-317809-adil.html diakses tanggal 8 November 2011
[4] http://www.al-azim.com/masjid/adil.html diakses tanggal 8 November 2011

Comments

Popular posts from this blog

Kota Bandung dan Kota Malang

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc