Ketidakjelasan Posisi Calon Menteri
Jakarta | Yusril Ihza Mahendra
Kalau kedudukan
Wakil Menteri dalam kabinet kita yang pertama (1945) adalah jelas karena mereka
anggota kabinet, maka tidak demikian halnya dengan kedudukan Wakil Menteri di
dalam KIB II Presiden SBY. Pasal 70 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara sebagaimana telah dikutip di atas menyebutkan bahwa jika ada beban
pekerjaan yang memerlukan penanganan khusus, Presiden dapat mengangkat wakil
menteri pada kementerian tertentu. Namun Penjelasan pasal tersebut mengatakan
bahwa Wakil Menteri itu adalah pejabat karir dan bukan anggota kabinet. Penjelasan
pasal inilah yang menimbulkan kerancuan terhadap kedudukan wakil menteri di era
Presiden SBY ini. Penjelasan itu bukannya memperjelas makna norma yang
termaktub di dalam Pasal 70, malah membuatnya menjadi kabur dan tidak jelas.
Dua minggu lalu, Presiden SBY telah resmi mengumumkan reshuffle
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Satu hal yang menarik perhatian masyarakat
ialah banyaknya wakil menteri yang diangkat dalam kabinet hasil resuffle ini.
Dari 34 menteri anggota kabinet, setelah reshuffle jumlah wakil menteri kini
bertambah dari 6 menjadi menjadi 19 orang. Ini berarti jumlah Wakil Menteri melebihi separuh dari jumlah menteri. Bagaimanakah
kedudukan wakil menteri ini dalam sistem ketatanegaraan kita, dan akan makin
efektifkah jalannya pemerintahan dengan keberadaan 19 wakil menteri itu?
Pasal 17
ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengatakan bahwa Presiden dibantu oleh
menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.Jadi, dalam UUD 1945, tidak ada jabatan Wakil Menteri. Namun,
Pasal 10 UU No 39 Tahun 1998 tentang Kementerian Negara, menyebutkan
bahwa “dalam hal beban kerja yang memerlukan penanganan khusus, Presiden
dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu”. Penjelasan pasal ini
mengatakan bahwa “Yang dimaksud wakil Menteri adalah pejabat karier dan bukan
merupakan anggota kabinet”. Selanjutnya Pasal 70 ayat (1) Peraturan
Presiden No 76 Tahun 2011 mengatakan bahwa “Wakil Menteri berada di bawah dan
bertanggungjawab kepada Menteri”. Inilah aturan-aturan yang terkait dengan
jabatan Wakil Menteri itu.
Dalam sejarah
Kabinet Presidensial di negara kita, hanya dalam Kabinet RI yang pertama yang
dibentuk tanggal 5 September 1945 yang memiliki Wakil Menteri. Kabinet pertama
itu terdiri atas 12 menteri, 5 menteri negara dan 2 wakil menteri. Wakil
Menteri yang ada pada waktu itu hanyalah Wakil Menteri Dalam Negeri dan Wakil
Menteri Penerangan. Kedudukan dua Wakil Menteri itu jelas, karena namanya
dicantumkan dalam daftar anggota kabinet yang dipimpin oleh Presiden
Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Di era Pemerintahan
Presidensial Sukarno setelah Dekrit Presiden (1959-1966), jabatan Wakil Menteri
tidak ada. Demikian pula dalam seluruh kabinet yang pernah dibentuk oleh
Presiden Suharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan di awal kabinet
pertama yang dibentuk Presiden SBY (KIB I). Belakangan, Presiden SBY mengangkat
satu orang Wakil Menteri, yakni Wakil Menetri Luar Negeri. Di zaman
Presiden Sukarno dan Presiden Suharto, pernah ada jabatan menteri muda, di
samping menteri, yang menangani urusan-urusan tertentu yang berada di bawah
kementerian tertentu. Semua menteri muda itu adalah anggota kabinet. Mereka
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggungjawab kepada Presiden,
bukan bertanggungjawab kepada Menteri yang memimpin kementerian itu.
Penulis ini pada
awalnya mewakili Presiden SBY membahas RUU Kementerian Negara yang inisiatifnya
berasal dari DPR. Namun di tengah jalan, Penulis ini diberhentikan sebagai
Mensesneg, sehingga pembahasan RUU ini diteruskan oleh Mensesneg yang baru,
Hatta Radjasa dan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, hingga selesai. Dalam
RUU Kementerian Negara, jabatan Wakil Menteri itu tidak ada. Dalam KIB I,
Presiden SBY pernah mendiskusikan secara informal kepada Penulis tentang
perlunya mengangkat Wakil Menteri pada Kementerian Luar Negeri, mengingat Menlu
sering berada di luar negeri. Dalam pikiran penulis waktu itu, Wakil Menteri
itu adalah anggota kabinet sebagaimana halnya Wakil Menteri dalam kabinet
pertama RI di tahun 1945. Dengan demikian, apabila Menlu berhalangan, maka
Wakil Menlu itu dapat menghadiri sidang-sidang kabinet, menghadiri rapat-rapat
dengan DPR dan sebagainya, sehingga tidak perlu terlalu sering mengangkat
Menteri Luar Negeri Ad Interim. Selama menjadi Menteri Kehakiman dan HAM,
Penulis ini berulangkali menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Ad Interim. Bahkan
pernah pula sekaligus merangkap sebagai Menteri Pertahanan Ad Interim,
disamping Menlu Ad Interim. Namun, apa yang penulis pikirkan itu ternyata
berbeda dengan penjelasan Pasal 70 UU No 39 Tahun 2008 yang penyelesaiannya
dilakukan oleh Mensesneg Hatta Radjasa dan Menkumham Andi Mattalata.
Norma undang-undang sebenarnya adalah apa yang tertera di
dalam pasal-pasal undang-undang tersebut. Fungsi penjelasan undang-undang
tidaklah lebih dari sekedar menjelaskan saja apa yang dimaksud oleh norma yang
diatur di dalam pasal, sehingga dimengerti maksudnya. Penjelasan undang-undang
tidak boleh memuat norma baru atau norma tersendiri yang tidak diatur di dalam
pasal-pasal undang-undang tersebut. Ini sebuah kesalahan, baik oleh DPR maupun
Presiden dalam membahas RUU Kementerian Negara tersebut. Pasal 10 UU No 39
Tahun 2008 itu hanya memuat norma bahwa Presiden dapat mengangkat Wakil
Menteri. Istilah Wakil Menteri membawa pengertian pejabat tersebut memang
mewakili menteri dalam hal-hal menangani hal-hal khusus di kementerian itu.
Ketika menterinya berhalangan, maka Wakil Menteri itulah yang mewakili menteri
yang bersangkutan hadir dalam rapat-rapat kabinet, DPR dan kegiatan-kegiatan
lainnya. Karena itu wakil menteri seharusnya adalah anggota kabinet, sebab
mereka diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas inisiatif Presiden sendiri
dan bukan inisiatif, atau sekurang-kurangnya atas usul menteri yang
bersangkutan.
Namun penjelasan Pasal 10 UU No 39 Tahun 1998 itu
mengatakan bahwa wakil menteri itu adalah pejabat karir dan bukan anggota
kabinet. Dari sinilah muncul kerancuan kedudukan wakil menteri itu. Kerancuan
di atas itu makin bertambah dengan Pasal 70 ayat (1) Peraturan Presiden No 47
Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011,
yang mengatakan bahwa Wakil Menteri “berada di bawah dan bertanggungjawab
kepada Menteri”. Di satu pihak Wakil Menteri itu diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden, namun di lain pihak “berada di bawah dan bertanggungjawab
kepada Menteri”. Sementara Wakil Menteri itu bukan
diusulkan oleh Menteri yang bersangkutan, tetapi murni inisiatif Presiden. Jadi
seorang menteri dapat di “fait accomly” oleh Presiden untuk menerima seseorang
menjadi wakilnya, walau hatinya mungkin kurang berkenan. Hal lain yang
juga menimbulkan masalah ialah, jika Wakil Menteri tidak dapat bekerjasama
dengan Menteri, Menteri itu tidak dapat memberhentikan Wakil Menteri, karena
dia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kedudukan wakil Menteri seperti
ini membingungkan.
Pasal 70A
Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 menambahkan lagi bahwa “Hak keuangan dan
fasilitas lainnya bagi Wakil Menteri diberikan setingkat dengan jabatan
struktural eselon Ia ”. Meskipun mendapat hak keuangan dan fasilitas setingkat
eselon Ia, namun Wakil Menteri itu bukanlah pejabat eselon Ia. Wakil Menteri
bukanlah pejabat struktural birokrasi. Kalau demikian apa makna bahwa “Wakil
Menteri adalah pejabat kakir” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70 ayat (1)
Peraturan Prsiden No 76 Tahun 2011? . Pejabat karir adalah pejabat birokrasi,
baik sipil maupun TNI dan POLRI, yang menduduki jabatan karir secara berjenjang.
Jabatan itu diraih seseorang secara berjenjang, berdasarkan kepangkatan dan
urutan eselon jabatan. Untuk menduduki jabatan dalam eselon tertentu, seorang
pegawai negeri harus memiliki kepangkatan tertentu, tidak sembarangan. Tidak
mungkin pegawai golongan III menjadi pejabat eselon I. Lantas, bagaimana dengan
sejumlah akademisi yang kini menjadi Wakil Menteri, apakah mereka mempunyai
kepangkatan yang sesuai untuk itu, kalau jabatan Wakil Menteri adalah jabatan
karir?
Kasus Denny Indrayana
Denny Indrayana misalnya, adalah pegawai negeri sipil
golongan III/C dengan jabatan fungsional sebagai Guru Besar di Universitas
Gadjah Mada. Denny tidak menduduki jabatan struktural apapun di Fakultas Hukum
UGM, baik ketika diangkat menjadi Staf Khusus Presiden, apalagi ketika diangkat
diangkat menjadi Wakil Menteri. Ketika diangkat sebagai Wakil Menteri, jabatan
Denny Indrayana adalah Staf Khusus Presiden, suatu jabatan non struktural,
namun mendapat gaji dan tunjangan setingkat pejabat Eselon Ia. Berdasarkan
Pasal 6 Peraturan Presiden No 3 Tahun 2011 tentang Staf Khusus Presiden,
pegawai negeri yang diangkat menjadi staf khusus Presiden “diberhentikan dari
jabatan organiknya” tanpa kehilangan status sebagai pegawai negeri. Istilah
“jabatan organik” sebenarnya adalah istilah dalam jabatan ketentaraan, yang
lebih kurang sama pengertiannya dengan “jabatan struktural” dalam jabatan
pegawai negeri sipil.
Jadi, kalau
jabatan Wakil Menteri adalah jabatan karir, maka jenjang karir apakah gerangan
yang dimiliki oleh Denny Indrayana sebelum diangkat menjadi Wakil Menteri? Sebelum
Peraturan Presiden No 47 Tahun 2009 diubah dengan Peraturan Presieden No 76
Tahun 2011, dalam Pasal 70 ayat (3) disebutkan bahwa Wakil Menteri itu haruslah
pejabat yang telah menduduki jabatan eselon Ia. Namun ketentuan ini dihapuskan,
tanpa mengubah ketentuan-ketentuan yang lain. Perubahan itu nampak dilakukan
tergesa-gesa menjelang reshuffle kabinet, sehingga antara satu ketentuan dengan
ketentuan lain menjadi “tidak nyambung” dan terlihat aneh.
Guru Besar
Fakultas Hukum UI, Professor Hikamahanto Juwana dan politisi PDIP Firman Jaya
Daeli mengatakan perubahan tergesa-gesa terhadap Pasal 70 ayat (3) Peraturan
Presiden No 49 Tahun 2009 itu memang sengaja dilakukan untuk memberi jalan bagi
diangkatnya Denny Indrayana, dan mungkin juga nama yang lain yang
sebelumnya tidak memenuhi syarat, menjadi Wakil Menteri. Pendapat kedua tokoh
ini nampak ada benarnya. Presiden tentu, kapan saja berwenang mengubah
Peraturan Presiden. Presiden SBY nampaknya menganut faham bahwa hukum dibuat
untuk manusia, bukan manusia dibuat untuk hukum. Jadi kalau ada norma hukum
yang menghalangi maksud tertentu, misalnya untuk mengangkat Denny Indrayana
jadi Wakil Menteri, maka hukum itu, tentu dapat saja dirubah, Begitulah
kira-kira pikiran yang ada di benak Presiden SBY. Tidak salah, memang, namun
terkesan menggelikan.
Professor
Hikamahanto malah mengatakan bahwa hukum yang dibuat dengan cara seperti itu,
tidak semestinya dipatuhi. Tetapi norma hukum itu, kendatipun termasuk ke dalam
ranah hukum publik, namun pelaksanaannya tidaklah menyangkut orang banyak,
tetapi hanya menyangkut Presiden dan calon Wakil Menteri saja. Orang yang mau
membawa Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 itu untuk diuji secara formil dan
materil, juga tidak punya “legal standing” untuk memperkarakannya di Mahkamah
Agung. Kerugian apa yang diderita orang itu dengan berlakunya Perpres No 76
Tahun 2011, sehingga dia dapat dianggap mempunyai “legal standing” untuk
melakukan “judicial review” ke Mahkamah Agung?
Ketentuan-ketentuan
tentang Wakil Menteri di era Presiden SBY sebagaimana digambarkan di atas,
menunjukkan kekacauan berpikir para pejabat yang berwenang merumuskan
norma-norma hukum. Kalau hal ini ditarik kepada permasalahan yang lebih luas,
maka kekecauan berpikir dalam merumuskan norma hukum itu akan berdampak luas,
yakni timbulnya kekacauan penyelenggaraan pemerintahan. Kalau penyelenggaraan
pemerintahan negara kacau balau, maka kacau balau pulalah jalannya Negara
Republik Indonesia ini. Memang ada mekanisme untuk memperbaikinya, namun
pekerjaan itu akan membuang banyak waktu dan energi. Padahal,
persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa dan negara ini, terutama di
bidang sosial dan eknomi sudah menuntut penyelesaian segera.
Akankah Effektif?
Presiden SBY meresuffle kabinet pada 19 Oktober yang lalu
karena banyak faktor. Faktor yang paling menentukan ialah banyaknya kritik
terhadap pemerintahannya yang dinilai tidak efektif menyelesaikan
persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa dan negara. Kalau pemerintahan
dinilai tidak efektif, maka ketidakpuasan akan meluas yang berujung pada krisis
kepercayaan. Suara-suara yang menuntut agar SBY-Boediono turun, kini terdengar
hampir setiap hari. Untuk menjawab semua itu, reshuffle kabinet, nampaknya
dianggap Presiden sebagai upaya untuk memulihkan kembali kepercayaan, sambil
memperkuat dukungan politik, paling tidak dari kekuatan-kekuatan politik yang
mempunyai wakil di DPR.
Namun, reshuffle
kabinet dengan mengganti dan memutasi sejumlah menteri, belumlah memberikan banyak
harapan, selama Presiden tidak memberikan arahan dan program yang jelas
dengan tenggang waktu yang cepat kepada para menterinya. Menteri bukanlah
sekedar pembantu Presiden, tetapi adalah pejabat yang oleh undang-undang
diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan dan mengambil keputusan sesuai
bidangnya. Dalam sistem pemerintahan kita ini, menteri tidak dapat semata-mata
pejabat politik sebagai pembuat kebijakan dan pengambil keputusan berdasarkan
masukan dari jajaran birokrasi. Menteri harus mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang masalah-masalah yang harus di tangani yang menjadi tanggungjawabnya,
dan leadership yang cukup pula untuk membuat keputusannya menjadi efektif. Melihat
nama-nama menteri baru, atau menteri yang dimutasi ke kementerian lain ketika
resuflle kali ini, kemampuan menteri-menteri yang bersangkutan masih tanda
tanya dan harus dijui dalam kenyataan beberapa bulan mendatang. Kemampuan Gita
Wiryawan menangani perdagangan, Amir Samsudin dalam menangani hukum dan HAM,
serta Cicip Sutradjo menangani kelautan masih tanda tanya. Begitu pula,
menteri-menteri yang dimutasi ke kementerian lain, seperti Mari Pangestu yang
kini menangani pariwisata dan ekonomi kreatif, dan Jero Wacik menangani ESDM.
Pertanyaan tentang efektifitas tentu terkait pula dengan
banyaknya jabatan Wakil Menteri dalam kabinet hasil reshuffle. Dari
ketidakjelasan kedudukan wakil menteri itu saja, sudah dapat dibayangkan bahwa
kinerja cabinet hasil reshuffle ini tidak akan menambah efektivitas kerjanya.
Ketika rapat cabinet pertama pasca reshuffle, sudah ada Wakil Menteri yang
mengatakan secara terbuka bahwa dia tidak tahu apa yang menjadi tugasnya
sebagai wakil menteri. Dari sini dapat diketahui bahwa Presiden lebih dahulu
mengangkat orang jadi Wakil Menteri, tanpa memikirkan secara struktur
organisasi dan mekanisme kerja, apakah yang akan dikerjakan oleh wakil
menteri pada kementerian tertentu, sehingga jabatan itu dipandang perlu untuk
diadakan. Cara berpikir Presiden SBY ini terbalik. Seharusnya Presiden memikirkan
dengan matang,.perlu tidaknya mengadakan jabatan wakil menteri pada kementerian
tertentu dan menuangkannya ke dalam struktur organisasi, baru mengangkat
orangnya. Apa yang dilakukan Presiden SBY ini nampak seperti orang
mengira-ngira saja: kementerian ini perlu wakil menteri, bahkan bukan
hanya satu, tetapi dua wakil menteri. Tapi, untuk apa keberadaan wakil menteri
itu sesungguhnya? Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan misalnya, ruang-lingkup
pekerjaannya sudah mengecil dengan otonomi daerah. Lantas, apa perlunya mengangkat dua wakil menteri untuk kementerian ini?
Ketidak-jelasan
kedudukan wakil menteri, kecacauan dalam aturan-aturannya, serta ketidakjelasan
tugas dan wewenangnya pada suatu kementerian, bukan saja dapat menimbulkan
tumpang tindih, namun juga membingungkan jajaran birokrasi di bawahnya. Ini
akan terjadi apabila wakil menterinya bersikap kreatif dan pro-aktif menangani
hal-hal tertentu di kementeriannya. Sikap kreaktif dan pro-aktif ini, bukan
mustahil pula akan menimbulkan suasana kurang enak antara menteri dan wakil
menteri. Rasa kurang enak itu bisa muncul kepermukaan dalam bentuk yang
beragam, mulai dari mendinginnya hubungan sampai ketegangan terbuka yang
menjadi tontonan publik.
Di masa Presiden Suharto yang memiliki karisma, kewibawaan dan
kewenangan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Presiden SBY,
mendinginnya hubungan antara Menteri dan Menteri Muda memang terjadi.
Walaupun hal seperti itu tidak terungkap secara luas kepada publik, karena
suasana kebebasan memang belum terbuka lebar, namun publik tetap mengetahui
adanya masalah antara Menteri dan Menteri Muda, ambillah contoh misalnya antara
Menteri Keuangan JB Sumarlin dengan Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura
dan antara Mensesneg Moerdiono dengan Menmud Sekkab Saadillah Mursyid. Itu sebabnya, maka dalam Kabinet Pembangunan VI dan VII,
Presiden Suharto meniadakan jabatan menteri muda itu. Keberadaan para menteri
muda dianggap tidak efektif, malah menimbulkan masalah semacam persaingan
antara menteri dengan menteri mudanya.
Pengalaman di masa Presiden Suharto rupanya tidak dijadikan sebagai
pelajaran. Tidak apa-apa. Presiden SBY dapat berpikir sendiri dan memutuskan
sendiri, apa yang dianggap terbaik bagi kabinetnya. Waktu masih tiga tahun bagi
Presiden SBY untuk memperbaiki dan sekaligus meningkatkan efektifitas kerja
kabinetnya. Kalau perombakan kabinet dan pengangkatan wakil-wakil menteri ini
efektif, maka akan meningkatlah kepercayaan rakyat kepada Pemerintah dan
Presiden SBY akan “khusnul khatimah” sampai akhir masa jabatannya tahun 2014
nanti. Namun bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka akan tambah sulit bagi
Presiden SBY membangun kepercayaan rakyat. Demo-demo yang menuntut Presiden
untuk turun dari jabatannya niscaya akan bertambah banyak saja. (http://yusril.ihzamahendra.com/2011/10/31/ketidakjelasan-posisi-wakil-menteri/)
Comments
Post a Comment