Kesurupan

Ada kekeliruan besar dalam memahami sebuah keadaan kesurupan atau kerasukan. Sebagian masyarakat kita memahami dan mempercayai bahwa kesurupan atau kerasukan adalah suatu keadaan dimana seseorang tengah dimasuki atau dikuasai oleh roh halus atau sejenisnya, dari orang yang telah meninggal dunia. Kekeliruan ini lantas, menjadi semakin bertambah keliru karena kondisi kesurupan ataupun kerasukan ini malah dijadikan sebuah petunjuk atau setidaknya kejadian yang dapat dipedomani sebagai sebuah kebenaran, untuk kemudian diikuti atau dituruti oleh manusia yang masih hidup.
Maksum
Di dalam Al-Quran, telah secara nyata disebutkan bahwa orang-orang yang dilindungi segala sikap dan perbuatannya dari segala bentuk dosa adalah para Nabi dan Rasul. Ini berarti, hisab terhadap manusia selain golongan Nabi & Rasul ini akan dilakukan setelah meninggalnya manusia, dan pda saat dihisabnya amalan manusia. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Zalzalah, yang pada pokoknya menyatakan bahwa tiap amalan yang baik atau buruk, sebesar zarah pun maka akan diperhitungkan dan ada balasan terhadapnya. Jadi, tidak ada pengecualian keadaan yang memungkinkan seorang anak manusia (selain para Nabi & Rasul) tidak diperhitungkan amalan baik atau buruknya selama di dunia.

Tiap yang bernyawa akan mati

Penciptaan seluruh pengisi alam semesta, selalu berpasangan. Itu merupakan sunatullah, yang memang terkondisikan seperti itu, sehingga dalam konsep manusiawi diterjemahkan sebagai sebuah keseimbangan. Pun halnya dengan kelahiran atau sebuah penciptaan manusia, pastilah setelah tiba saatnya akan terpasangkan dengan kematian. Hal mana yang terjelaskan secara pasti di dalam Al-Quran, bahwa tiap-tiap yang bernyawa pasti akan mati. Tumbuhan, hewan, manusia, jin, syaitan, semua pasti akan merasakan mati. Bahkan benda-benda yang secara kasat mata kita anggap tidak hidup seperti gunung, batu, hamparan lautan, angin dan sebagainya, mungkin sebenarnya hidup, dan akan merasakan mati pula.

Setelah matinya makhluk, maka akan dimintakanlah pertanggungjawaban kepadanya, tentang apa yang dilakukannya selama hidup. Apakah hidupnya itu dihabiskan dengan beribadah kepada Allah SWT dan berbuat baik, atau malah membangkang kepada Allah SWT dan berbuat kemungkaran. Manusia atau jin, tentulah akan mendapatkan giliran untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama hidup tersebut kelak di alam barzakh maupun hari perhitungan.

Iman kepada Malaikat
Manusia yang telah meninggal dunia, akan memasuki tahapan di alam barzakh. Disinilah berdasarkan Al-Quran dan Hadits, manusia akan ditanyai oleh Malaikat Munkar dan Malaikat Nakir tentang apa saja yang telah dilakukannya di alam dunia, dan disana pula akan diberikan balasan terhadap amalan itu, sampai datangnya hari kiamat dan hari perhitungan. Konsep yang dapat ditarik dari rangkaian sederhana ini adalah, setiap makhluk yang bernyawa (d.h.i. adalah manusia & jin) akan mati, dan setiap yang mati akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ini merupakan hal imperative yang pasti dan akan dilalui, tidak ada satupun (dari manusia & jin) yang bisa melarikan diri dari kematian, sebagaimana halnya tidak ada satupun (dari manusia & jin) yang bisa menghindar dari pertanggungjawaban yang diminta melalui Malaikat Munkar dan Nakir di alam barzakh. Sehingga kita sepakati bahwa, tidak ada roh seseorang atau roh jin yang bisa menghindar dari momentum pertanggungjawaban di alam barzakh ini. Untuk alasan apapun, untuk keadaan apapun.

Di dalam Hadist, disebutkan bahwa seseorang yang telah meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya, kecuali 3 perkara, yakni: amal jariyahnya selama di dunia, ilmu yang bermanfaat dan digunakannya selama di dunia, serta anak yang soleh, yang senantiasa mendoakan keselamatan orang yang meninggal itu. Ketiga perkara itulah yang akan senantiasa “membantu” seseorang yang telah meninggal dunia, dalam menghadapi pertanyaan dari Malaikat Munkar dan Nakir di alam barzakh. Disini, kita sepakati bahwa, dengan meninggalnya seseorang, maka terputuslah segala koneksinya dengan alam dunia, terputuslah segala urusannya dengan hal-hal duniawi, terputuslah kepentingannya dengan segala hal kecil sampai paling besar, yang ditinggalkannya di dunia. Sebagai pengecualian, adalah ketiga hal yang disebutkan tadi di atas.

Dari uraian itu dapat kita sepakati juga, bahwa matinya makhluk berarti putus juga koneksi antara makhluk itu dengan alam dunia. Logika terbaliknya adalah, apabila makhluk yang telah mati bisa seenaknya mondar-mandir kembali ke alam dunia, jadi bagaimana tugas-tugas Malaikat Munkar dan Nakir bisa dilaksanakan sementara yang diperiksanya sedang anjangsana ke alam dunia?

6 (enam) pilar keimanan umat islam adalah beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Kiamat, serta qadha dan qadhar. Apabila tidak genap pilar-plar keimanan itu dimiliki oleh seorang muslim, maka tidak genap pula konsep keimanan yang dimilikinya. Definisi beriman sendiri adalah mempercayai, mengikuti dan meyakini kebenarannya. Beriman kepada Malaikat, adalah inklusif dengan meyakini bahwa malaikat itu selalu tunduk dan patuh terhadap segala perintah Allah, melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya, dan tidak pernah sekalipun membantah apalagi membangkang terhadap perintah Allah SWT. Apabila kita berpendapat bahwa Malaikat, khususnya Munkar dan Nakir tidak melaksanakan tugasnya dengan baik karena mempercayai bahwa ada makhluk yang seharusnya ditanyai oleh Malaikat Munkar dan Nakir itu sedang beranjangsana ke alam dunia dengan merasuki raga orang yang masih hidup di alam dunia, maka tidak genap pula konsep keimanan Islam dalam diri kita. Ini berarti pula bahwa kita ingkar terhadap eksistensi Malaikat maupun tugas-tugasnya. Kasarnya kita menolak mempercayai keberadaan malaikat, karena menolak mempercayai bahwa Malaikat telah melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik.

Jadi, apakah kita kan mempercayai Malaikat Munkar & Nakir yang melaksanakan tugasnya menginterogasi setiap roh makhluk (Manusia & Jin) yang telah mati di dalam barzakh, atau lebih mempercayai oknum yang menyusup dan merasuk ke tubuh manusia dan mengaku-ngaku sebagai arwah orang yang telah meninggal dunia?
Konklusi
Sederhananya adalah, apabila kita beriman kepada Malaikat (termasuk Malaikat Munkar dan Nakir), maka kita harus mempercayai bahwa setiap makhluk yang telah meninggal akan mendapatkan giliran untuk ditanya mengenai amalan-amalannya oleh Malaikat Munkar dan Nakir. Tidak ada kesempatan bagi makhluk yang telah meninggal itu untuk meninggalkan giliran mendapat pertanyaan itu, tidak juga untuk merasuki atau membuat orang yang masih hidup di alam dunia menjadi kesurupan. Yang benar adalah, bila ada orang yang kesurupan, itu adalah perbuatan Jin Kafir yang memang ingin menyesatkan manusia di dunia, agar sesat dan mengikuti kehendaknya. Dan akar dari itu semua tentu telah kita ketahui bersama, yakni Syaitan yang terkutuk.

Kecenderungan untuk mentoleransi keinginan atau kehendak oknum yang kesurupan/kerasukan (baik yang terasuki maupun yang dirasuki), dengan tujuan apapun dan tendensi apapun, selain merusak akidah Islam, juga berpotensi merusak hubungan antar manusia sebab bisa memunculkan fitnah. Bila kita lebih mempercayai perkataan orang yang kesurupan mentah-mentah, daripada bukti yang lebih nyata terlihat, maka akan mengabaikan hak-hak manusiawi seseorang untuk dikonfirmasi atau ber-tabbayyun tentang kebenaran, yang jelas kepercayaan terhadap hal ini lebih banyak menimbulkan mudharat.

Kalaupun yang disampaikan oleh oknum itu benar, maka hal itu merupakan sebuah kebetulan belaka. Itu adalah kabar dari ‘Arasy yang tercuri dengar oleh Jin. Dan dalam hal adanya pengobatan yang manjur dengan perantaraan orang sakti atau orang yang tengah kerasukan, lantas apa bedanya dengan pengobatan yang dilakukan dengan perantaraan Jin oleh orang-orang kafir? Mereka pun bisa mengaku-ngaku sebagai roh suci atau apapun itu. Siapapun dapat mengaku benar dan suci, hanya saja akidah kita sendiri yang bisa memilah-milah hal itu.

Percaya terhadap keberadaan yang gaib tidak diharamkan, karena banyak hal yang kita percayai dan kita temui justru gaib dan tak kasat mata. Akan tetapi, meyakini bahkan cenderung menuruti atau mentaati orang yang kesurupan ataupun oknum yang mengaku sebagai roh halus agar terpenuhi segala keinginannya, merupakan syirik. Dan atas hal itu, tidak ada kata “tapi” atapun pengecualian, karena itu adalah penyesatan akidah yang tidak bisa ditolerir.


(K.A. Malabar Ekspress, 20 September 2011)

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang