Tentang Hukum Waris Islam


Hukum Waris Islam merupakan salah satu hukum waris yang ada dan dipergunakan di Indonesia, selain hukum waris BW (Belanda) dan hukum waris Adat. Perlu ditelaah lebih lanjut berbagai permasalahan hukum waris yang lebih dikenal dengan Faraidl ini, dari berbagai aspek.

Berikut adalah petikan wawancara penulis dengan narasumber Ustadz Asep Fakhrurrazi dalam masalah Faraidl atau hukum waris dalam Islam dan berbagai permasalahannya.
Penanya
:
Bagaimana  pandangan  Islam  terhadap  hukum Waris  Islam menurut penilaian Akang?
Narasumber
:
Hukum waris Islam bukanlah hal yang baru dalam Islam, bahkan hukum waris Islam dikenal jauh lebih dulu daripada hukum waris Eropa, hukum waris BW misalnya. Hal ini dapat kita simpulkan dari adanya peraturan hukum waris dalam Al-Qur’anul Kariim, sehingga hukum waris sudah sejak dulu telah memiliki peranan penting dalam Islam sebagai suatu konsep yang kekal dan Universal.
Penanya
:
Dasar penilaian Akang?
Narasumber
:
Ya itu tadi, hukum waris Islam sudah ditentukan sedemikian rupa dalam Al-Qur’an, aturan tentangmawaris sudah secara gamblang dicantumkan dalam Qur’an, dan berlaku sejak zaman Nabi Muhammad SAW sehingga kita tidak dapat meragukan lagi keabsahan berlakunya hukum waris Islam tersebut.
Penanya
:
Sebenarnya apa yang menjadi penyebab utama adanya atau diberlakukannya hukum waris Islam ini?
Narasumber
:
Asbabun Nuzul (Sebab-musabab) turunnya ayat-ayat tentang waris ini adalah riwayat tentang istri Sa’ad bin Rabi yang datang menghadap Rasulullah SAW dan mengadukan nasibnya perihal harta warisan suaminya yang diambil oleh saudara Sa’ad (karena memang pada saat itu istri ataupun anak tidak punya hak atas harta ayahnya-pen), setelah Sa’ad gugur dalam perang Uhud. Sehingga dia (istri Sa’ad dan kedua putrinya) tidak mendapat apa-apa dari harta Sa’ad. Maka turunlah surat An-Nissa ayat 11-12 yang kemudian menjadi dasar hukum pewarisan dalam Islam. Setelah itu Rasul mengirim utusan kepada saudara-saudara Sa’ad untuk mengambil bagian dari istri dan putri Sa’ad masing masing sebesar 2/3 bagi kedua putri Sa’ad dan 1/8 bagi istri Sa’ad.
Penanya
:
Ada kesan bahwa hukum waris Islam itu mendiskreditkan kaum wanita, karena bagian mereka hanya 1/2 dari kaum pria?
Narasumber
:
Asumsi tersebut tidak dapat dipandang dari satu sisi saja. Dilihat dari jumlah bagiannya, memang bagian kaum pria 2 X dari bagian kaum wanita, namun ada dasarnya. Kaum pria memiliki kewajiban memberi nafkah kepada istri, itu termasuk biaya-biaya lain seperti biaya sekolah atau biaya pengobatan misalnya. Kewajiban mengeluarkan nafkah bagi laki-laki lebih banyak macamnya dan tugas kewajibannya yang berkenaan dengan materi lebih vital, sehingga kebutuhan terhadap harta lebih besar dibandingkan wanita. Selain itu bukankah sebelum Islam lahir (zaman jahiliyah-pen), kaum wanita sama sekali tidak punya hak atas warisan. Baru setelah Islam ada, hak-hak kaum wanita diakui.
Penanya
:
Dalam hal yang menafkahi adalah istri (wanita)?
Narasumber
:
Syariat Islam tidak mewajibkan wanita untuk memberi nafkah, sekalipun ia orang kaya, baik untuk dirinya sendiri ataupun anak-anaknya, selama ia beserta dengan suaminya. Nafkah wanita dan anak-anak menjadi tanggung jawab suaminya, seperti penyediaan tempat tinggal, makan, pakaian dsb.
Penanya
:
Apa Akang tahu mengenai KHI yang di dalamnya meliputi juga hukum kewarisan Islam?
Narasumber
:
Ya, sedikit banyak saya pernah mendengar dan membaca tentang Kompilasi Hukum Islam, meskipun tidak terlalu paham.
Penanya
:
Apakah KHI khusunya mengenai pewarisan dalam Islam sudah sesuai dengan prinsip-prinsip waris Islam dalam Al-Qur’an?
Narasumber
:
Secara tekstual mungkin berbeda, karena disesuaikan dengan keadaan Indonesia pada saat KHI ini diundangkan. Namun intisari pemikirannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip waris Islam dalam Al-Qur’an.
Penanya
:
Seberapa pentingkah penggunaan atau penerapan hukum waris Islam di dalam kehidupan bermasyarakat?
Narasumber
:
Sebenarnya Faraidl (hukum waris) adalah merupakan sunnah Rasul, sehingga penerapannya tentulah sangat dianjurkan. Bahakan secara tidak langsung ada perintah khusus untuk mempelajarai Faraidl itu. Dalam Riwayat Ibnu Majah dikatakan bahwa Faraidl adalah setengah ilmu dan mudah dilupakan, serta ilmu yang pertama hilang dari umat Islam. Sehingga tentunya pemakaian dan penerapan Faraidl merupakan salah satu amal ibadah bagi kita.
Penanya
:
Mengenai sejarah sampainya hukum waris Islam ke Indonesia, sampai akhirnya diundangkan dalam KHI?
Narasumber
:
Menurut buku yang pernah saya baca, pertama kali hukum waris Islam di Indonesia, dipakai/digunakan oleh orang-orang Arab yang tinggal di Indonesia. Bila ada yang meninggal diantara mereka, maka hukum waris Islamlah yang dijadikan dasar dalam pembagian harta waris. Kemudian seiring perkembangan Islam di Indonesia, dengan semakin bertambahnya umat Islam dan untuk menyempurnakan syari’at Islam, maka dipandang perlu adanya suatu aturan baku tentang hukum waris Islam, sehingga diundangkanlah hukum waris Islam itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Penanya
:
Penerapan/pemakaiannya sekarang?
Narasumber
:
Tampaknya masyarakat sekarang masih banyak yang belum tahu akan waris Islam. Hal ini mungkin karena mayoritas masyarakat Indonesia masih memegang teguh adatnya, sehingga penggunaan hukum waris Islam terbatas pada orang yang tahu dan benar-benar paham tentang hukum waris Islam. Jarang orang yang memakai hukum waris Islam dalam pembagian waris.
Penanya
:
Mengapa?
Narasumber
:
Selain hal yang telah saya sebutkan di atas, mungkin hukum waris Islam sendiri sukar dipahami apalagi diterapkan terutama bagi orang-orang awam. Karena dalam hukum waris Islam, bagian-bagiannya sudah ditentukan dengan jumlah tertentu yang berbeda-beda. Berbeda dengan hukum waris BW misalnya, semua anak memiliki hak yang sama atau sebanding atas harta waris tanpa dibeda-bedakan. Atau dalam hukum waris adat kita (sunda-pen), pembagian harta waris sudah jelas dengan penunjukkan ahli waris dan benda yang akan diwariskan kepada tiap ahli waris.
Penanya
:
Solusinya?
Narasumber
:
Prinsipnya, kita tidak bisa hanya berteriak-teriak melalui Undang-undang, Peraturan-peraturan dan sejenisnya saja, sosialisasi kepada masyarakat-tentunya umat Islam-sangat perlu dilakukan. Peran serta dari kalangan ulama pun diperlukan, setidaknya ulama paham betul hukum waris Islam secara umum dan mau menyebarluaskannya kepada masyarakat, meskipun tidak mengenal KHI secara khusus. Sehingga umat Islam terbuka matanya terhadap hukum warisnya sendiri. Tapi tentunya ini tak lepas dari pilihan-pilihan hukum yang ada.

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang