Penegakan Hukum di Indonesia


Secara jelas, Undang-undang Dasar 1945 menerangkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Pun halnya dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945, disebutkan pula bahwa negara kita adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Akan tetapi perlu dipersoalkan juga, negara hukum seperti apakah yang dimaksudkan?
NEGARA HUKUM
Dalam ilmu hukum, dikenal 2 sistem hukum yang menjadi mazhab hukum mayoritas di dunia saat ini yakni Eropa Kontinental dan Anglo-Saxon (Anglo-Amerika). Perbedaan keduanya terletak pada sumber yang dijadikan acuan hukum. Bila Eropa Kontinental lebih kepada dasar perundang-undangan yang merupakan produk hukum legislatif maupun eksekutif, maka Anglo-Saxon (Anglo-Amerika) lebih mendasarkan hukum kepada judge made law atau yurisprudence yang dihasilkan dalam praktek peradilan. Akan halnya sistem hukum yang dianut di Indonesia? Belum pasti. Yang jelas menurut sebagian besar kalangan, sistem hukum Eropa Kontinental-lah yang banyak diadaptasi ke dalam sistem hukum nasional kita.
Kemudian pemikiran tentang 2 mazhab itu berkembang, tak hanya dari sisi teknis dan karakteristik saja, melainkan juga dari segi tujuan keberadaan hukum itu sendiri. Setelah teori hukum murni yang berkembang di masa lalu, kini mulai bergeser ke arah yang lebih moderat dan praktis. Maka muncullah istilah social justice atau legal justice yang sebenarnya merupakan paparan terkini dari unsur keberlakuan suatu peraturan yakni, secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Penegakan hukum sekarang, tak melulu soal sesuai atau tidaknya suatu hal dengan ketentuan perundang-undangan, akan tetapi lebih kepada apakah penegakan hukum itu memiliki manfaat langsung kepada masyarakat ataukah tidak? Inilah yang kerap menjadi persoalan dan konlik sosial, dimana penegak hukum yang berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku sering berhadapan frontal dengan masyarakat yang berpegang pada opini mayoritas serta kemanfaatan dari penegakan hukum tersebut.
Trias politika yang dianut negara kita, masih belum terejawantahkan secara sempurna. Setelah era orde baru yang executive heavy, berbalas dalam era reformasi yang legislative heavy. Kini, segala hal nampaknya terkesan mampu ditangani oleh DPR selaku representasi dari kekuasaaan rakyat. Semua aspek kenegaraan seolah diambil alih, konon demi “menyuarakan aspirasi rakyat”. Tak terkecuali kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum. Hal mana yang berpotensi melanggar Konstitusi kita, yang secara jelas menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dari segala bentuk intervensi apapun dan siapapun.
Campur aduknya pratktek ketatakenegaraan, dimana executive tidak mau dikontrol atau oleh diawasi oleh legislative, atau legislative yang malah merasa memiliki kewenangan untuk masuk dan mengendalikan kekuasaan yudicative sekedar untuk menunjukan kekuasaaan kerakyatan yang diembannya, mengakibatkan makin luasnya ketidakpahaman masyarakat tentang konsep negara hukum yang digagas oleh para founding fathers kita di masa kemerdekaan. Semua kekuasaan layaknya berjalan saling menyalip bahkan saling bersinggungan, tak lagi berjalan seiring.
KOMPONEN PENEGAKAN HUKUM
Hukum dapat ditegakkan, andaikata sistem hukum dan aparat penegak hukum berjalan harmoni dan seirama. Ini tentu hal yang cenderung utopis, namun tidak mustahil untuk diwujudkan. Sistem hukum yang benar dan ideal, akan memberikan batasan-batasan yang jelas tentang hak dan kewajiban masyarakat, serta mereduksi peluang berkembangnya kecenderungan homo homini lupus dari manusia. Aparat penegak hukum yang jujur & benar, akan menjamin terlaksananya ketentuan dalam sistem hukum itu, serta memberikan sanksi yang tegas tanpa membeda-bedakan siapapun yang melanggar ketentuan perundang-undangan itu.
Dalam lingkup yang lebih kecil, sistem hukum –sesuai dengan mazhab eropa kontinental yang banyak dianut di Indonesia- dapat diartikan sebagai aturan hukum. Suatu ketentuan hukum (peraturan perundang-undangan) yang baik, haruslah dapat merepresentasikan kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, ketentuan hukum juga harus dapat meliputi dan menjawab setiap persoalan hukum yang telah terjadi, sedang terjadi dan berpotensi akan terjadi di dalam masyarakat. Ketentuan hukum itu haruslah lengkap, bulat dan tidak ambigu apabila diartikan dan dipahami. Dan yang paling penting, diantara ketentuan hukum yang berlaku tidak ada pertentangan atau hal yang bertolak belakang. Lucu namun ironis apabila ada ketentuan mengenai pengaturan suatu hal, ditentukan berbeda dalam beberapa undang-undang, atau ada Peraturan Pemerintah yang sama sekali tidak sesuai dengan Undang-undang di atasnya. Yang lebih lucu lagi, apabila ada pembentuk perundang-undangan yang sama sekali tidak mau melaksanakan ketentuan perundang-undangan yang dibuatnya.
Kinerja aparat penegak hukum haruslah kredibel dan maksimal. Sistem hukum tidak akan berjalan dan tegak apabila aparat penegak hukum yang ada tidak kredibel dan tidak bekerja maksimal. Secara sederhana sistem hukum adalah “hukum yang statis” sedangkan aparat penegak hukum adalah “hukum yang dinamis”. Dan yang paling kasat mata terlihat, serta paling mudah disalahkan pertama kali apabila ada ketidakberesan dalam penegakan hukum adalah aparat penegak hukum. Hal ini menjadi lazim karena patron yang menjadi model dan berkembang luas di masyarakat adalah figur ketokohan terhadap seseorang atau subyek tertentu. Sehingga saat menunjukkan hal baik dan populis, maka figur tersebut akan dipuja-puji, akan tetapi apabila menujukkan hal yang buruk, maka akan dicerca sampai akar-akarnya. Tindakan itu dilakukan tanpa menyadari, apakah pangkal permasalahan sebenarnya dari tidak tegaknya hukum. Agaknya terkesampingkan, bagaimana ketidakteraturan sistem hukum yang membentuk peraturan perundang-undangan alakadarnya, yang kerap berbenturan satu dengan lainnya. Atau bagaimana political will dari pemegang kewenangan pembentuk perundang-undangan, sangat sering menunjukkan keberpihakan atau kecenderungan mengusung kepentingan tertentu, sehingga aturan yang ada tak lagi berjiwa hukum yang imparsial dan netral, akan tetapi lebih beraroma tarik ulur kepentingan dan negotiable.
Akan tetapi secara praktis, dalam keadaan tidak ideal dimana salah satu dari keduanya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka selaku subyek dari penegakan hukum, Aparat penegak hukum harus berada di garda depan penegakan hukum. Sehingga muncul istilah, apabila aparat penegak hukum yang bekerja dengan baik, maka sistem hukum yang buruk pun akan menjadi baik. Sedangkan, apabila aparat penegak hukum tidak bekerja dengan baik maka sesempurna apapun suatu sistem hukum, tidak akan menghasilkan penegakan hukum yang bersih dan berwibawa.
HAKIM: WAKIL TUHAN
Hakim kerap dipersonifikasikan sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum. Alangkah mulianya sebutan itu, dan alangkah beratnya tugas yang diemban dalam melaksanakan fungsinya tersebut. Hakim dituntut untuk menjaga tegaknya keadilan bagaimanapun caranya dan bagaimanapun keadaannya. Dengan predikat itu, Hakim dari berbagai sisi senantiasa disoroti kinerjanya. Keberadaan Komisi Yudisial adalah salah satu contoh konkrit. Pada awal pembentukannya, Komisi Yudisial dimaksudkan untuk memuliakan profesi Hakim. Jadi intinya adalah, sebagai aparat penegak hukum, seorang Hakim diharapkan mampu menunjukkan pribadi yang mencerminkan keadilan, kejujuran, sifat arif dan bijaksana, berintegritas, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin, rendah hati namun profesional.
Yang patut dicermati adalah sisi manusiawi dari Hakim itu sendiri. Hakim kerap dituntut berperilaku seperti malaikat, yang harus terbebas dari segala bentuk tekanan dan intervensi serta kepentingan-kepentingan. Hakim malah lebih sering dilihat dari sisi negatifnya saja. Dalam menilai kinerja Hakim, Komisi Yudisial hanya melihat dari mercusuar, tanpa pernah melihat keseharian dari Hakim seolah lupa bahwa Hakim adalah manusia juga yang mempunyai kebutuhan dan interaksi sosial seperti orang lain pada umumnya.
Apabila kekuasan kehakiman tidak lagi independen, serta cenderung ditekan untuk ini-itu, maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya. Kemandirian lembaga peradilan, harus senantiasa dijaga. Intervensi dari pihak luar, temasuk dari sesama lembaga negara haruslah dihilangkan. Mahkamah Agung tidak menutup mata, terhadap beberapa kasus yang menimpa oknum Hakim yang menyalahgunakan kewenangannya. Akan tetapi itu bukanlah alasan untuk mengobok-obok pakem kemandirian Hakim dengan melakukan campur tangan ke dalam ranah teknis putusan pengadilan. Biarlah sistem yang sudah ada sekarang berjalan sebagaimana mestinya, dan perbaikan dilakukan lebih terarah kepada pola pembinaan dan pengawasan, baik dalam bentuk sanksi maupun penghargaan.
Mahkamah Agung telah membentuk pola dasar pembinaan tenaga teknis dan non teknis peradilan, termasuk Hakim. Demikian pula halnya dengan fasilitas yang diharapkan, dengan budget yang terlalu kecil dari APBN, Hakim tetap dituntut bekerja profesional dan adil. Wajah seperti itu hendaknya diperbaiki ke depan. Bagaimana mungkin seorang wakil Tuhan dengan sedemikian besarnya tanggung jawab dan kedudukan, hidup dalam keadaan yang sangat kontras berbeda dengan aparatur negara yang kebetulan berposisi dalam lingkup executive atau legislative.
KONSEP HAKIM IDEAL
Sebagaimana disampaikan oleh salah seorang Hakim Agung, Hatta Ali bahwa Hakim bukanlah Mulut Undang-undang atau mulut hukum positif pada umumnya. Hakim tidak sekedar menerapkan suatu perjanjian yang menjadi hukum bagi para pihak, Hakim adalah mulut kepatutan, keadilan, kepentingan umum dan ketertiban umum. Apabila penerapan aturan hukum akan bertentangan, Hakim wajib memilih kepatutan, keadilan, kepentingan umum dan ketertiban umum.
Maka demi itu, Hakim pun dituntut untuk melakukan sinkronisasi antara kepastian hukum dengan keadilan serta kemanfaatan hukum. Tentu itu bukan hal mudah, terlebih di zaman sekarang, dimana opini publik dianggap sebagai refleksi dari keadilan serta kemanfaatan hukum itu sendiri. Hal mana yang kadang-kadang bebenturan dengan kepastian hukum, yang pada akhirnya bertentangan dengan sistem hukum yang ada dan telah dibangun sekian lama.
Mahkamah Agung untuk menjawab tantangan itu, senantiasa melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan Visi Mahkamah Agung untuk mewujudkan badan peradilan yang Agung, langkah-langkah ke arah itu sudah, sedang dan akan senantiasa dilakukan. Reformasi peradilan merupakan perjalanan panjang, namun diawali oleh satu langkah kemauan yang menjadi dasar kuat dari keberhasilan yang bertahap. Indikator awalnya sebagaimana dikemukakan Prof. Paulus E. Lotulung, yakni diantaranya peningkatan profesionalisme Hakim, peningkatan sarana/prasarana pengadilan serta peningkatan finansial/budget badan pengadilan, tengah berjalan secara sistematis dimulai dari tahun 2010.
Hakim akan selalu senantiasa bekerja sesuai fungsi dan kedudukannya. Sebagai silence corps, Hakim tidak harus menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia bekerja sungguh-sungguh bagi para pencari keadilan. Tidak harus melakukan konferensi pers untuk menyatakan bahwa Hakim sudah sepenuh hati men-sinkron­-kan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam Putusannya. Tidak harus pula tebar pesona, agar masyarakat percaya bahwa keadilan dan kebenaran itu masih ada. Cukup dalam diamnya, Hakim menunjukkan eksistensi untuk membentuk peradaban yang berkeadilan. Cukup dengan diamnya, Hakim menujukkan bahwa benar-benar ia bekerja untuk kebajikan sebagai wakil Tuhan.

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang