Machstaat


Penjelasan Undang-undang Dasar 1945, menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan pada Hukum (rechtstaat), bukan Negara yang berdasarkan pada kekuasaan belaka (machstaat). Hal sama yang kemudian tertuang dalam Perubahan Ketiga di Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Mirisnya, sebagai Negara yang menyebut diri sebagai Negara hukum, penegakan terhadap hukum di Indonesia bak lelucon yang sama sekali tidak lucu. Para pelaku dan aparat penegak hukum kerap terjebak akrobat politik dari orang-orang yang memiliki kekuasaan, sehingga sangat kerap terjadi hukum dibolak-balikkan, dipermainkan, dijungkirbalikkan sesuai dengan keinginan, selera dan kebutuhan orang yang berkuasa.
Di Negara ini, paham bahwa politik adalah hukum itu sendiri bukan hal yang rahasia dan harus ditutup-tutupi. Betapa tidak, persoalan hukum yang secara jelas dan kasat mata adalah murni merupakan ranah penegakan hukum, malah sering dibelokkan menjadi persoalan politik yang tentu berhubungan dengan persoalan kepentingan politik. Sebaliknya, persoalan politik yang jelas sangat menonjolkan unsur kepentingan dan tujuan kelompok tertentu, serinng didalihkan sebagai persoalan hukum. Atau setidaknya direkayasa sedemikian rupa, sehingga terlihat sebagai persoalan hukum yang pada akhirnya bertujuan untuk mendiskreditkan pihak lawan, sehingga tujuan dan kepentingan politik golongan tertentu menjadi terlaksana.
Penegak Hukum
Patut dicurigai, bahwa penegakan hukum di Indonesia saat ini tengah diarahkan demi kepentingan dan tujuan dari suatu kelompok tertentu. Sebagai Negara yang menganut Trias Politika, pada kenyataannya pelaksanaan dari ketiga lingkup kekuasaan itu tidak berimbang dan cenderung berat ke salah satu (atau dua) lingkup kekuasaan saja. Secara sederhana, dapat dikatakan sangat ganjil apabila suatu Negara yang menyatakan diri sebagai Negara Hukum, memberikan proporsi kewenangan, fungsi dan anggaran yang sangat terbatas kepada pelaksana penegakan hukum. Jujur saja, seberapa besar peranan dari Kepolisian, Kejaksaan atau Pengadilan dalam penegakan hukum di Indonesia. Ada berapakah regulasi yang membuat penegakan hukum oleh ketiga unsur tadi menjadi terhambat? Atau secara terbalik, ada berapakah regulasi yang mampu memperlancar/memberdayakan ketiga unsur itu dalam menegakkan hukum?
Kenyataan yang ada, penegakan hukum oleh Kepolisian, Kejaksaan maupun Pengadilan seringkali berbenturan dengan regulasi yang dibuat, baik oleh legislatif maupun eksekutif. Contoh konkrit adalah, dalam hal ada pejabat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, harus menempuh jalur birokrasi kepada Pejabat atasannya, untuk diminta ijin apabila hendak dilakukan penyidikan dan penahanan. Hal yang demikian, tentu mengebiri kewenangan penegak hukum atau secara umum mengebiri penegakan hukum itu sendiri. Penegakan hukum, dikondisikan sedemikian rupa sehingga menjadi terbatas ruang lingkup dan batasan kewenangan penegak hukum, disesuaikan dengan kepentingan dan keinginan kelompok yang sedang berkuasa.
Dari segi anggaran, secara kasat mata pun dapat dilihat betapa timpangnya alokasi anggaran yang diperuntukan bagi aparat penegak hukum. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan memang telah mendapatkan Tunjangan Kinerja (remunerasi), akan tetapi pencairan anggaran itu sangat tidak pasti. Terkadang 3 bulan sekali, kadang lebih dari itu. Terlepas dari tidak kemungkinan tidak siapnya pengadmimistrasian keuangan terhadap hal itu, akan tetapi lebih sering karena pengalokasian anggaran untuk lingkup penegak hukum ini, lebih tersedot oleh peruntukan anggaran bagi legislatif dan eksekutif.
Tunjangan Kinerja di Kepolisian dan Kejaksaan, baru dimulai dan dibayarkan pada tahun 2011. Sedangkan di Lingkungan Mahkamah Agung, telah dilakukan sejak tahun 2008. Dan apabila dibandingkan dengan tunjangan yang didapatkan oleh anggota Legislatif, maupun para pejabat struktural di pemerintahan tentu akan sangat nampak kesenjangannya. Selain dari segi jumlah, jenis tunjangan yang didapat oleh seorang anggota legislative atau pejabat struktural pemerintahan, pun beragam dan banyak jumlahnya.
Penegakan hukum akan berjalan dengan baik, dengan 2 syarat utama. Sistem dan regulasi hukum yang baik, serta aparat penegak hukum yang baik. Sejenak, kita kesampingkan sistem hukum kita yang memang tidak jelas seperti apa, dan memfokuskan diri pada aparat penegak hukumnya. Sebab seburuk apapun sistem dan regulasi hukum, apabila aparat penegak hukumnya baik, maka penegakan hukum akan berjalan dengan baik. Itulah syarat minimalnya. Akan tetapi faktanya sekarang, dengan pengekangan dan pembatasan terhadap berbagai aspek yang seharusnya dimiliki oleh aparat penegak hukum, bagaimana bisa penegakan hukum bisa berjalan baik? Sepertinya itu penyakit yang diderita -dan mirisnya dipelihara/dikondisikan demikian- oleh para pemegang kekuasaan, untuk melanggengkan kekuasaan dan kepentingannya. Caranya sederhana, miskinkan (atau setidaknya buatlah keterbatasan) aparat penegak hukum, sehingga ketika muncul persoalan hukum aparat penegak hukum itu bisa dikendalikan dengan kompensasi materi dan kekuasaan lain.
Lumrah apabila manusia selalu menginginkan hal lebih, daripada keadaan yang sekarang tengah dinikmatinya. Begitu pun halnya aparat penegak hukum. Setelah terbiasa dengan keterbatasan, maka ketika ada peluang untuk mendapatkan yang lebih baik, ia akan menempuh jalan itu, tak peduli, baik atau buruk. Sederhananya, untuk apa berbuat baik dan hidup serba berkekurangan sementara pelanggar hukum yang tidak berbuat baik, hidup berlebihan. Akan tetapi, ketika keadaan awal (berarti dari saat dia mulai mengabdi sebagai penegak hukum) dari aparat penegak hukum telah baik, terjamin segala kebutuhannya, diberikan segala hak-hak dasarnya, maka dengan sendirinya akan mereduksi potensi penyimpangan dan keinginan berlebih-lebihan dari cara yang tidak sah.
Pendapat terbalik
Salah seorang Komisioner Komisi Yudisial pernah berujar, pemberian Tunjangan Kinerja kepada Hakim (dan pegawai di lingkungan Mahkamah Agung pada umumnya), tidak mempengaruhi penegakan hukum, buktinya masih saja ada hakim yang bermasalah dan menerima suap. Sebenarnya itu merupakan pernyataan yang terlalu menyamaratakan fakta, dan mendiskreditkan hakim, bahkan penegakan hukum itu sendiri. Secara tidak langsung, pernyataan ini mengatakan bahwa: tidak perlu ada Tunjangan Kinerja (remunerasi), sebab ada itu pun masih saja ada Hakim yang bermasalah. Hakim, seperti halnya Komisioner Komisi Yudisial itu (juga yang lain), adalah manusia biasa yang tidak tak berdosa dan pernah berbuat salah. Apabila Hakim Indonesia sudah tidak ada yang berbuat salah, berarti Hakim itu malaikat, bukan manusia.
Hakim, sebagai salah satu aparat penegak hukum senantiasa berada pada posisi dilematis. Apabila di masa lalu hanya berhadapan dengan persoalan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum, kini Hakim dihadapkan pula dengan persoalan opini publik/pendapat masyarakat. Ketika suatu putusan hakim dinilai tidak populis, atau istilah kerennya menyinggung rasa keadilan masyarakat, maka ramai orang menghujat, dan Komisi Yudisial tak mau kalah dengan menyatakan akan mengeksaminasi putusan itu. Sampai kapanpun, apabila penegakan hukum selalu dicampuradukkan dengan persoalan opini publik atau kepentingan lain, maka tidak akan pernah berujung. Terlebih, putusan pengadilan sudah hampir pasti tidak akan memuaskan semua pihak yang bersengketa. Akan tetapi bukan berarti dengan adanya ketidakpuasan itu, penegakan hukum menjadi terhambat, atau tidak perlu. Biarlah mekanisme yang telah ada menjawab persoalan ketidakpuasan hukum itu.
Ketika persoalan manusiawi seperti kesejahteraan dan martabat Hakim atau aparat penegak hukum lainnya diabaikan, maka penegakan hukum model apa yang akan diharapkan bisa diwujudkan? Orde baru yang cenderung executive heavy, dan reformasi yang legislative heavy, seakan tidak memberikan kesempatan bagi para penegak hukum dan penegakan hukum untuk mandiri dan independen. Betapa tidak, Yudikatif maupun penegak hukum lain selama ini dikesampingkan keberadaan, martabat dan hak-haknya, dibuat menjadi tidak mandiri dan tidak independen dengan tujuan politis dan sarat kepentingan. Maka hasilnya tidak perlu heran, penegakan hukum carut marut. Selain karena sistem hukum yang tidak jelas, aparat penegak hukumnya pun dikondisikan agar memiliki ketergantungan kepada pihak lain, baik ketergantungan dari segi materi maupun segi kedudukan dan martabatnya.
Mari kita jujur, dan berbesar hati. Pemenuhan hak-hak aparat penegak hukum yang layak, perlakuan sesuai dengan harkat dan martabatnya, patutlah dijadikan suatu parameter minimal sebagai awal dari suatu penegakan hukum yang bersih dan berwibawa. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, akan berfungsi baik bila diperlakukan dengan baik pula. Ingat, Negara kita adalah Negara hukum dan penegakan hukum yang berkeadilan adalah jiwa dari Negara hukum. Bukan Negara undang-undang, bukan Negara atas dasar kepentingan politis, bukan pula Negara atas dasar pencitraan baik yang subyektif adan absurd.

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang