Tentang Surat Izin Mengemudi



Berawal dari sebuah pertanyaan sederhana, mengapa orang yang tidak mempunyai Surat Ijin Mengemudi (SIM) ditilang? Dapat ditarik sebuah kajian sebagai berikut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 281 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan bahwa: “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)”.
Dari ketentuan itu, dengan jelas dan tegas bahwa orang yang tidak memiliki Surat Izin (meskipun sebenarnya kata bakunya adalah Ijin) Mengemudi, maka dinyatakan melakukan Tindak Pidana Lalu Lintas, dan harus dipidana baik berbentuk kurungan maupun denda.
Akan tetapi, seperti halnya penegakan hukum dengan berbagai jenisnya di Indonesia, aturan ini juga termasuk ke dalam kategori abu-abu alias tidak jelas. Dan seperti watak penegak hukum di Indonesia, aturan yang dengan sedemikian jelasnya mengatur suatu hal, tetap saja dianggap belum jelas atau kurang jelas, atau kurang tegas. Berbanding terbalik apabila hal itu ditujukan pada aturan yang tidak jelas atau belum jelas atau kurang jelas, maka dalam penjelasan peraturan tersebut akan disebutkan cukup jelas.

Penjelasan tentang ketentuan Pasal 281 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009, tersebut pun hanya menyebutkan bahwa ketentuan tersebut cukup jelas. Sehingga dalam hal ini, tidak ada pengecualian atau keadaan yang bisa mengakibatkan tidak dapat diterapkannya Pasal 281 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tersebut.
Lebih lanjut, persyaratan untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi ditentukan dalam Pasal 81 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009. Sebagai contoh, dalam ayat (2) huruf a disebutkan bahwa: “usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin Mengemudi D.
Jadi, jelas kesimpulannya bahw orang yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi, karena alasan apapun yang salah satunya adalah tidak memenuhi ketentuan dalam pasal 81 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dapat dipidana dengan kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Akan tetapi pada kenyataanya, tidak demikian. Penegakan hukum di bidang lalu lintas ini pun terkadang dilakukan secara parsial. Dengan berbagai dalih dan alasan, hal itu kemudian menjadi fenomena yang biasa, ditoleransi dan dianggap sebagai hal yang lumrah.
Dasar dipakainya usia minimal 17 tahun sebagai usia paling muda untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi adalah karena pada usia tersebut, seseorang dianggap sudah cakap dan dapat bertanggung jawab sendiri atas segala tindakan yang dilakukannya. Dan ditetapkannya usai tersebut, bukan tanpa alasan yang jelas. Batas minimal usia 17 tahun juga dipakai sebagai syarat minimal usia pemilih pada ketentuan Pemilihan Umum (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008), yang meskipun terdapat derivasi dalam mengartikan “usia dewasa “, akan tetapi yang digunakan dalam undang-undang ini adalah 17 tahun.
Dalam kenyataan, banyak sekali anak-anak sekolahan (khususnya yang belum berusia 17 tahun), mengendarai sepeda motor maupun mobil sebagai sarana untuk pergi-pulang ke sekolah, ataupun untuk sekedara jalan-jalan meluapkan gairah muda mereka, dan mereka tidak ditindak oleh pihak yang berwajib. Apabila anak sekolah usia SD atau SMP (SLTP) yang mengendarai kendaraan bermotor, jelas itu telah melanggar ketentuan Pasal 281 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009, karena mereka (mendekati) tidak mungkin bila sudah mencapai usia 17 tahun sehingga bisa mendapatkan Surat Izin Mengemudi. Akan tetapi siswa SMU (SMA) pun, sebenarnya sebagian dari mereka belum berhak mendapatkan Surat Izin Mengemudi karena belum mencapai umur 17 tahun. Sederhananya seperti ini, seorang masuk SD pada usia 7 tahun, kemudian lulus SD pada usia 13 tahun. Melanjutkan ke SMP dan lulus sampai 16 tahun, sehingga usia pada saat di SMA adalah antara 16 sampai dengan 16-18 tahun.
Atas analisa sederhana tersebut, dapat diketahui bahwa sebagian dari siswa SMA tidak memiliki hak untuk mengendarai kendaraan bermotor secara hukum. Namun, mengapa masih banyak polisi yang membiarkan para siswa ini berkendaraan (baik sepeda motor maupun mobil) ke sekolah. Apakah ini adalah pengecualian hukum? Atau alasan pemaaf/pembenar, sehingga tidak ada tindakan yang dikenakan terhadap mereka yang melanggar ketentuan undang-undang tersebut.
Sementara itu, Polisi kerap kali melaksanakan tugasnya di depan Sekolah (baik SMA, SMP, maupun SD), dan menyaksikan sendiri anak-anak sekolah yang berkendaraan bermotor lalu lalang di depan mereka, baik dengan cara yang sopan maupun kebut-kebutan. Namun, sangat jarang sekali Polisi tersebut bereaksi ataupun melakukan tindakan terhadap mereka. Mungkin dengan argumen bahwa siswa itu bertujuan baik, karena akan menuntut ilmu sehingga akan tidak etis bila kena tilang, maka dijadikan alasan pemaaf untuk tidak melakukan tindakan apa-apa terhadapnya. Tindakan yang kemudian oleh sebagian besar orang dianggap sebuah kelaziman yang lama-lama menjadi hukum tidak tertulis, yang berakibat pembiaran terhadap pelanggaran ketentuan undang-undang itu.
Sebenarnya bila diamati secara serius, pembiaran yang dilakukan oleh Polis terhadap siswa yang mengendari sepeda motor atau mobil dengan melanggar ketentuan Pasal 281 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 itu dapat berakibat panjang. Kerap ditemukan para siswa yang (dimaklumkan) dengan semangat mudanya, kebut-kebutan dan ugal-ugalan di jalan, yang jelas hal itu membahayakan jiwa, tak hanya dirinya sendiri akan tetapi juga jiwa orang lain. Atau lebih jauh lagi, apakah Polisi tersebut juga sudah lupa akan kiprah Geng-geng Motor yang beberapa waktu lalu wartanya kerap mencuat akibat kebrutalan dan kesadisannya, bukankah mereka sebagian besar adalah anak-anak ataupun pemuda tanggung yang berusia sekitar 16 tahun ke atas, bahkan kurang dari itu? Bukan hendak mengebiri hak-hak individual seseorang, terutama siswa sekolah terkait kebebasan berkendara. Akan tetapi bila dibiarkan, hal ini berpotensi menyebabkan ketidakteraturan yang lebih parah dan lebih buruk dari hal yang nyata dan telah ada sekarang.
Adalah sangat naif apabila dikatakan Polisi tidak mengetahui/kurang memahami ketentuan Pasal 281 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 itu. Akan tetapi sangat konyol juga bila kemudian Polisi melakukan tindakan terhadap pengemudi kendaraan yang tidak memakai helm, tidak memasang kaca spion, menerobos lampu merah atau melanggar tanda larangan belok kanan karena ketidaktahuan, akan tetapi membiarkan orang-orang yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi berkeliaran di jalan raya tanpa hak. Inikah yang disebut dengan penegakan hukum?
Kategori kedua yang tidak berhak mengendarai kendaraan bermotor adalah ORANG YANG SEDANG KURSUS MENGEMUDI. Ya, orang yang sedang belajar mengemudi (kebanyakan adalah mengemudi mobil), pun tidak berhak mengendarai kendaraan bermotor. Sekarang, banyak kursus mengemudi yang berpraktek di jalan raya. Padahal dalam hal itu, yang mengemudi adalah orang yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi. Lantas, apakah Polisi tidak mengenakan pasal Pasal 281 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 terhadap mereka. Terlebih (sekali lagi) tidak ada pengecualian penerapan, termasuk sekalipun terhadap orang yang sedang berproses agar mendapatkan perlindungan hukum untuk mengendarai kendaraan bermotor secara legal. Hal-hal pengabaian terhadap hal ini, juga berpotensi menimbulkan bahaya terhadap dirinya maupun orang lain, sama berbahayanya seperti pembiaran terhadap anak di bawah umur (siswa sekolah) yang mengendarai kendaraan bermotor seperti penulis paparkan di atas.
Dengan ada aturan yang telah jelas dan tegas (Jentre: Bahasa Sunda) pun, kerap Polisi selaku penegak hukum masih memberikan toleransi dan permakluman, yang berpotensi menyebabkan kekeliruan umum pemahaman masyarakat akan hukum. Apalagi aturan hukum yang tidak atau kurang jelas. Makin membuat asumsi terhadap penegakan hukum, berjalan semakin keliru. Ada baiknya, dengan Polisi maupun penegak hukum yang lain dalam melaksanakan tugas-tugas penegakan hukumnya sementara ini berpedoman terlebih dahulu pada aturan-aturan yang telah jelas dan tegas, kemudian baru setelah itu melakukan penafisran-penafsiran terhadap aturan-aturan hukum yang belum jelas dan tegas dipaparkan undang-undang, semua ini demi terjaminnya dan tegaknya hak-hak inividu dan kemasyarakatan sebagaimana dijanjikan dalam peraturan perundang-undangan sebagai kompensasi dari konsep Negara Hukum. Bukan malah mengerjakan hal-hal lain yang negatif, dengan mengatasnamakan penegakan hukum dan keadilan.

Comments

  1. Anonymous5:07 PM

    Ribetnya kang..emang soal sepeda motor mestinya hukumnya di tegaskan dan pengguna di tertibkan....kalau belum cukup umur mendingan sepeda ontel wae....lebih sehat gak ada polusi....dan itu bagus untuk segala umur...... soal yg belajar mengemudi kendaraan mobil itu mestinya mereka juga punya surat Izin belajar mengemudi......

    ReplyDelete
  2. Kang Mpeb8:26 AM

    Khas Indonesia memang seperti itu. Hal ribet senangnya dibikin sederhana, hal sederhana malah dibuat ribet.

    Terima kasih untuk komentarnya. Salam kenal.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang