Hakim: Pejabat Negara yang dimiskinkan
Nomenklatur: Pejabat.
Dalam persepsi normal masyarakat, yang pertama terbayang bila kita mendengar istilah “Pejabat” ialah seseorang yang berdasi, turun dari mobil mewah dengan pakaian mahal dan aksesoris mewah lainnya. Dia berangkat ke kantornya, dari rumah yang juga mewah setelah sebelumnya sarapan roti bersama istri dan anak-anaknya, kemudian memastikan bahwa anak-anaknya diantarkan ke sekolah dengan selamat oleh supir pribadinya dengan memakai mobilnya yang lain.
Akan tetapi hal tersebut adalah sangat keliru dan ibarat jauh panggang dari api, bila “Pejabat” yang dimaksud adalah Hakim, terutama ditujukan pada Hakim Pengadilan Tingkat Pertama. Ya, berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, dengan tegas disebutkan bahwa “Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan” adalah salah satu kategori Pegawai Negeri Sipil yang menjadi Pejabat Negara. Implikasinya pun tak berhenti sampai sebatas penyebutan “Pejabat” saja, akan tetapi juga pada hak-hak yang dimiliki dan harus diterima oleh seorang “Pejabat”, tidak akan sama dengan hak-hak yang dimiliki dan harus diterima oleh seorang Pegawai Negeri Sipil.
Hak-hak Pejabat.
Dengan jelas pula, dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang”. Dan bila dikaitkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang itu pula, yang dimaksud dengan Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). Yang berarti bahwa “Pejabat” yang dimaksudkan, tak hanya Hakim Agung, melainkan juga seluruh Hakim pada Pengadilan Tingkat Banding dan seluruh Hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama.
Atas hal tersebut di atas, maka tak dapat dipungkiri dan tak dapat disangkal bahwa Hakim yang dimaksudkan adalah Hakim di semua tingkatan Peradilan, baik Hakim pada Mahkamah Agung, Hakim pada Pengadilan Tingkat Banding maupun Hakim pada Pengadilan Tingkat Pertama dengan segala kewajiban dan hak yang melekat padanya.
(1). Kedudukan protokol hakim pengadilan diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
(2). Selain mempunyai kedudukan protokoler, hakim pengadilan berhak memperoleh gaji pokok, tunjangan, biaya dinas, pensiun dan hak-hak lainnya.
(3). Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. tunjangan jabatan; dan
b. tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4). Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. rumah jabatan milik negara;
b. jaminan kesehatan; dan
c. sarana transportasi milik negara.
(5). Hakim pengadilan diberikan jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya.
(6). Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Realita.
Dengan indahnya ketentuan perundang-undangan itu, kenyataan yang dialami oleh para Hakim tingkat Pertama di seluruh lingkungan peradilan ternyata sangat jauh berbeda. Jangankan kedudukan protokoler atau sarana transportasi milik negara, rumah dinas pun kadang sangat sukar didapatkan, terutama oleh Hakim di daerah terpencil, mereka harus saling menunggu giliran dengan Hakim-hakim sebelumnya, dan bila telah ada pun keadaannya tidak layak disebut sebagai rumah dinas seorang “Pejabat”. Kenyataan berbeda didapat, apabila “Pejabat” yang dimaksud adalah seorang Pejabat dalam lingkup Eksekutif atau Legislatif.
Dikotomi dan perlakuan berbeda terhadap keadaan Pejabat dalam lingkup Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, semestinya tidak pernah ada bila Pemerintah benar-benar konsisten dan tegas memaknai bahwa Pejabat adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kepegawaian, yang artinya terlepas dari dia duduk di ranah Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Faktanya bahwa, selama ini Pejabat di ranah Yudikatif, sering dikesampingkan keberadaaannya dan dinomorduakan kebutuhannya.
Akan lebih miris lagi bila melihat keadaan Hakim-hakim di daerah, baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama maupun Pengadilan Tata Usaha Negara. Secara praktis, dapat dilihat seorang pejabat di lingkup eksekutif, semisal Kepala Dinas Kabupaten/Kota maka biasanya taraf hidupnya akan lebih baik apabila dibandingkan seorang Hakim PN atau Hakim PA di Kabupaten/Kota. Padahal bila dilihat dari kedudukan, seorang hakim adalah Pejabat Negara yang diangkat oleh Presiden (Pasal 16 ayat 1 UU No. 51 Tahun 2009), sedangkan Kepala Dinas adalah Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kedudukan struktural yang diangkat oleh Bupati/Walikota atau Gubernur, atau paling tinggi oleh Menteri. Ironisnya, kesejahteraan Hakim Pengadilan tingkat Pertama ternyata tidak lebih baik (atau mungkin lebih buruk) dari Pegawai Negeri Sipil biasa setingkat Kepala Dinas.
Perbedaan perlakuan tersebut, kemungkinan disebabkan karena unsur Yudikatif tidak pernah dan tidak akan pernah terlibat langsung dalam perumusan regulasi mengenai hak-hak seorang pejabat itu, sehingga “terima jadi”. Itupun masih dalam tataran ketentuan, belum menyentuh persoalan penerapan substansi dalam kenyataan.
Tunjangan Kinerja atau kerennya Remunerasi, yang konon merupakan upaya perbaikan sistem dengan jalan perbaikan kesejahteraan aparat terutama di Lingkungan Mahkamah Agung, tak berjalan sebagaimana mestinya. Tunjangan kinerja yang diharapkan mampu memacu produktivitas dan kualitas pelayanan publik bagi para pencari keadilan, lebih sering ditanyakan daripada diterima para aparat pengadil, termasuk Hakim. Pencairannya yang berbelit dan membutuhkan waktu lama, terkadang membuat kesejahteraan Hakim berjalan periodik. Kadang sejahtera, selebihnya tidak. Malah ada istilah, remunerasi itu ibarat gatal yang baru bisa digaruk tiga atau empat bulan kemudian. Jadi, gatalnya sekarang, tapi digaruknya tiga atau empat bulan setelahnya. Entah dimana letak kekeliruannya, sehingga pemberiannya tidak berbarengan dengan gaji atau tunjangan lainnya.
Mafia hukum.
Alasan yang kerap diujarkan mengapa belum ada niatan dari pemegang kewenangan untuk meningkatkan kesejahteraan Hakim maupun aparat di lingkungan yudikatif secara umum adalah karena masih banyak ditemui kasus penyalahgunaan kewenangan dalam proses peradilan, entah dengan bentuk mafia kasus maupun praktek percaloan lain. Hal mana yang sering dianggap sebagai salah satu indikator bobroknya sistem peradilan di Indonesia, dan Hakim dianggap sebagai salah satu oknum di dalamnya.
Hal serupa yang selanjutnya dilontarkan oleh Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, yang menyatakan bahwa Kesejahteraan (Gaji dan Tunjangan) Hakim belum saatnya dinaikan karena kinerja Hakim belum memuaskan. Secara sepintas, orang awam pun akan menganggap alangkah lucunya pernyataan tersebut, mengingat Ketua Komisi III tersebut tidak menyebutkan parameter apa yang dipakai sehingga menyebutkan bahwa kinerja aparat peradilan khususnya Hakim, tidak atau belum memuaskan. Hanya karena mengetahui ada beberapa oknum Hakim yang ketahuan menerima suap dari pihak yang berperkara, dengan mengabaikan keberadaan ± 4900 hakim lain yang mati-matian menegakan keadilan berbarengan dengan bekerja keras menopang hidupnya dan keluarganya, Anggota DPR itu menyatakan Hakim belum bekerja secara maksimal. Padahal bila mau jujur, kinerja seperti apa yang dianggap oleh Anggota DPR itu memuaskan? Pada tahun 2010 ada 72 produk RUU yang diajukan pemerintah atau yang diinisiasi oleh DPR. Namun, ternyata hanya 16 yang bisa dibahas, ditetapkan, dan disahkan menjadi UU. Apakah itu yang disebut memuaskan? Bukan malah menunjukkan hal sebaliknya, menunjukkan rendahnya kinerja DPR dalam produktivitas untuk mengesahkan RUU, yang mayoritas berhubungan dengan kepentingan masyarakat. Parameter seperti itukah yang dikatakan memuaskan? Atau itu disebut lebih memuaskan bila dibandingkan dengan ukuran putusan pengadilan yang dihasilkan oleh Hakim belum mencerminkan rasa keadilan? Ingat, Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1 UUD 1945), yang berarti bahwa Putusan Pengadilan yang dianggap tidak adil, tak bisa dijadikan Parameter memuaskan atau tidaknya kinerja seorang Hakim, sebab adanya independensi Hakim dalam memutuskan suatu sengketa/perkara.
Sejalan dengan pernyataan pimpinan Komisi III, Wakil Ketua Komisi III DPR, Tjatur Sapto Edy pun menyatakan bahwa penghasilan seorang Hakim sudah tergolong tinggi bila dibandingkan dengan penghasilan penegak hukum lain. Agaknya anggota Dewan itu lupa, bahwa selain sebagai seorang penegak hukum, Hakim juga adalah Pejabat Negara seperti halnya dirinya. Yang mempunyai hak-hak yang sama dengan dirinya, yang mempunyai tanggung jawab kenegaraan serupa dengan dirinya, yang juga dasar keberadaannya diatur dengan Undang-undang sama dengan dirinya. Lantas, mengapai keadaan dan kesejahteraan Hakim, jauh berbeda dengan dirinya dan teman-temannya?
Amanat UUD 1945 dan UU.
Yang diminta oleh para Hakim bukanlah peningkatan kesejahteraan, melainkan pemenuhan janji Undang-Undang sebagaimana amanat konstitusi yang telah ada dan ditetapkan sendiri oleh DPR dan Pemerintah. Apakah itu berlebihan? Justru pelanggaran dengan bentuk tidak ditepatinya janji Undang-Undang sebagaimana amanat konstitusi itulah yang merupakan bentuk pengabaian terhadap konstitusi. Kalau sekiranya Pemerintah dan DPR selaku pemegang hak menyusun undang-undang tidak mampu memberikan hak-hak “Pejabat” kepada Hakim-hakim di semua lingkungan Mahkamah Agung, janganlah menjanjikan hal-hal tersebut dengan menuangkan janji-janji kosong dalam Undang-undang kita.
Sementara dalam persoalan lain, Pemerintah -dalam hal ini adalah Partai pemenang Pemilu 2010 yang berafiliasi dengan Presiden RI-, menggembar-gemborkan bahwa keberhasilan mewujudkan anggaran pendidikan sebesar 20%, adalah merupakan keberhasilan pemerintahan. Padahal jelas hal itu juga sudah tercantum dan ditetapkan dalam konstitusi, bahwa anggaran pendidikan setidaknya harus 20% dari APBN (lihat Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 setelah Perubahan). Dan itu pun telah jauh-jauh hari diamanatkan oleh konstitusi dari tahun 2002, sedangkan klaim itu baru muncul pada 2010, pada saat rezim lama terpilih kembali. Itu bukan prestasi, itu amanat konsitusi. Seperti halnya pemberian kesejahteraan hakim, itu bukan hal yang harus dituntut terlebih dahulu pemenuhannya, itu merupakan janji konstitusi. Yang apabila tidak dipenuhi, maka merupakan tindakan pelanggaran terhadap konstitusi, hal mana yang merupakan persoalan serius dalam penegakan hukum.
Konklusi.
Gerakan seperti yang dilakukan oleh salah seorang Hakim Pengadilan Negeri yang menggagas perubahan terhadap nasib Hakim, dengan membentuk grup di Facebook, atau tindakan yang lebih elegan oleh salah seorang rekan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dengan melakukan penuntutan hak konstitusional ke Mahkamah Konstitusi terkait independensi Kekuasaan Kehakiman termasuk dalam hal finansial, semuanya bermuara pada satu alasan yakni Konstitusionalitas kedudukan Hakim di Indonesia.
Bahwa, tak boleh ada lagi pengekangan terhadap keadilan dan penegakan keadilan. Hal mana, yang secara logika terbalik dibahasakan: bagaimana bisa seorang penegak keadilan berbuat adil, sementara ia sendiri kerap diperlakukan tidak adil?
Jangan ada standar ganda dalam pemberlakukan nomenklatur Pejabat, terkait pemberian tunjangan dan peningkatan kesejahteraan. Disatu sisi, orang-orang Eksekutif dan Legislatif dengan predikat Pejabat di depannya, mendapatkan fasilitas yang serba cukup dan memuaskan. Sedangkan apabila Pejabat itu ada di lingkup kekuasaan Yudikatif, maka pemenuhannya diberikan dengan setengah hati dan parsial.
Akan tetapi rendah dan minimnya tingkat kesejahteraan seorang Hakim, lantas tak boleh dianggap sebagai alasan untuk menafikan tugas menegakkan keadilan sebagai fungsi pokok Hakim. Seperti yang diungkapkan Todung Mulya Lubis, bahwa ia setuju wacana peningkatan kesejahteraan hakim. Akan tetapi ia menggarisbawahi bahwa tidak berarti dengan kesejahteraan Hakim yang pas-pasan menjadi pembenaran dari tindakan merusak keadilan, dengan berperilaku tidak adil dalam memutus suatu perkara/sengketa.
Konklusinya secara sederhana adalah, apabila seseorang merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya penerapan Undang-undang oleh Pemerintah, maka ia dapat mengajukan permohonan pembatalan penerapan Undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, apabila terjadi seseorang dirugikan akibat tidak dilaksanakan atau tidak diterapkannya ketentuan dalam Undang-undang oleh Pemerintah (eksekutif), maka upaya hukum apa yang dapat ditempuh? Gugatan secara perdata kah? Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum oleh Pemerintah (O.O.D)? Mosi tidak percaya kah? Atau lebih ekstrim, Impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden selaku Kepala Pemerintahan, akibat perbuatan tercela melanggar Konstitusi dan Undang-undang? Patut direnungi lebih seksama.
manteb nih yob...nggak coba dikirimkan ke "dunia luar", biar bisa mencerahkan hati hati yang telah kusam termakan prasangka.....
ReplyDeletetuisan yang cukup memompa motivasi perjuangan...berdosa jika tidak di share sama temen cakrawan dan cakrawati seluruh indonesia...
ReplyDeleteAlhamdulillah, ada yang bersuara lantang, jelas, lugas, sebarkan kepada seluruh warga negara Indonesia, agar mereka melek kondisi negara ini, bagaimana hal yang seharusnya dilakukan tapi tidak dilakukan oleh penguasa, agar rakyat mengetahui bahwa siapa sebenarnya yang harus diluruskan, siapa yang sebenarnya tidak menjalankan amanat undang undang, siapa yang sebenarnya tidak serius dalam bekerja, ayo bangkit semua Hakim di Indonesia...
ReplyDeleteBoss... luar biasa knp tdk di share aja
ReplyDeleteTerimakasih atas komentar-komentarnya. Sebenarnya postingan ini sudah di-share di GRUP RENCANA PESERTA AKSI HAKIM INDONESIA MENGGUGAT PRESIDEN DAN DPR RI, secara tidak sengaja oleh salah seorang teman.
ReplyDeleteSemoga saja tulisan sederhana ini bisa mengundang perhatian (dan mungkin juga kontroversi) dari pihak yang berkuasa agar direspon dengan cara yang tepat.