Pengintegrasian Pengadilan Pajak

Dualisme pembinaan terhadap Pengadilan Pajak di dalam Sistem Peradilan di Indonesia, diakui atau tidak merupakan suatu hal yang janggal dalam Kekuasaan Kehakiman dewasa ini. Karena berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, semua urusan Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung beserta Lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah berada di bawah Mahkamah Agung.
Bila dirunut lebih lanjut, berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 setelah Perubahan, dikatakan bahwa: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa semua institusi pelaksana Kekuasaan Kehakiman yang memiliki tugas dan fungsi mengadili dan memutus suatu sengketa/perkara adalah berada dalam lingkup Mahkamah Agung, atau Mahkamah Konstitusi, sehingga di luar keduanya berarti tidak memiliki Kekuasaan Kehakiman.
Terkait keberadaan Pengadilan Pajak dalam sistem Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, terlihat jelas itu merupakan sebuah keniscayaan. Sebab bila didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara tegas dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan Kekuasaan yang terpisah dari urusan eksekutif maupun legislatif. Sejalan dengan dogma distributive of power yang membedakan antara kekuasan yudikatif, eksekutif dan legislatif.
Kenyataan yang ada ialah, Pengadilan Pajak yang merupakan salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman, akan tetapi pembinaan organisasi, administrasi dan finansialnya berada dalam lingkup eksekutif, yakni Departemen Keuangan[1]. Hal mana yang secara jelas dapat menimbulkan potensi ketidakmandirian Badan Peradilan dalam memutus suatu perkara.
Menganalogikan dengan keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berkedudukan di tempat kedudukan Pengadilan Negeri Klas IA, seharusnya dengan semangat Sistem Peradilan Satu Atap, dapat pula diterapkan Pengadilan Pajak yang berkedudukan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini berpangkal pada pemikiran bahwa klasifikasi tindakan Hukum di bidang Pajak ialah juga termasuk tindakan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara (administrasi), yang sebenarnya sejalan dengan semangat Pasal 1 angka 5, Pasal 9A, dan Penjelasan Pasal 9A ayat (1) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menunjukkan bahwa Pengadilan Pajak itu merupakan Pengadilan Khusus dari Peradilan Tata Usaha Negara, yang tentu seharusnya berada di dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, tidak berdiri sendiri.
Dalam hukum positif Indonesia, ketentuan mengenai kedudukan Pengadilan Pajak tersebut masih disimpangi, akan tetapi mutlak diperbaiki guna tegaknya keadilan baik secara formil maupun materiil. Sehingga konsep ideal dalam hukum cita (Ius Consituendum) mengenai keberadaan Pengadilan Pajak perlu dirancang, demi terciptanya penegakan hukum yang berkeadilan, transaparan, independen dan kredibel, yang bermuara pada terwujudnya Badan Peradilan di Indonesia yang Agung.
Perbedaan Hukum Acara antara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan Pajak, dapat menjadi suatu hambatan dalam upaya pengintegrasian Pengadilan Pajak ke dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini disebabkan karena secara spesifik telah ditentukan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak[2]. Dimana sengketa yang merupakan kewenangannya pun telah jelas, yakni Sengketa Pajak yaitu: Sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Sedangkan di Peradilan Tata Usaha Negara, lingkup kewenangannya lebih luas yakni meliputi Sengketa dalam bidang Hukum Tata Usaha Negara (Administrasi), dengan pembatasan-pembatasan tertentu.
Mengecualikan masalah sengketa pajak dari kewenangan PeradilanTata Usaha Negara tampaknya tidak logis, sebab perpajakan merupakan perbuatan pemerintahan, tindakan administrasi atau tata usaha negara. Apabila dicermati, pokok sengketa dalam peradilan pajak adalah Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau surat-surat yang berkaitan dengan penagihan pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Pajak cq Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat. Surat penetapan pajak tersebut merupakan penetapan yang bersifat konkret, tidak abstrak tetapi berwujud (mencakup sejumlah pajak yang ditetapkan atau ditagih),individual dan tidak untuk umum (untuk Wajib Pajak tertentu), final artinya sudah definitif, dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Berdasarkan pada obyek sengketa pajak dapat dilihat bahwa Pengadilan Pajak dapat dikategorikan sebagai peradilan yang termasuk dalam lingkungan peradilan tata usaha negara[3].


[1] Pasal 5 Huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
[2] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
[3] Disiplin F. Manao. 2004. Eksistensi dan Peranan Pengadilan Pajak Dalam Sistem Peradilan di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945. Tesis. Universitas Krisnawdipayana

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang