Penegakan Hukum atau Ketidakpahaman Hukum
Apa arti penegakan hukum sebenarnya? Memastikan
peraturan perundang-undangan tidak dilanggar? Atau memastikan orang yang
melanggar mendapatkan hukuman yang setimpal?
Mengenai pemidanaan, ada beberapa teori. Diantaranya
adalah teori pembalasan dan teori pembinaan. Teori pembalasan pada prinsipnya
menyatakan bahwa pemidanaan dilakukan untuk memberikan balasan terhadap
tindakan yang dilakukan oleh si pelaku kriminal. Tujuan utama pemidanaan
menurut penganut mazhab ini adalah semata-mata agar si pelaku merasakan akibat
yang sebanding atas apa yang dilakukannya.
Sementara teori pembinaan berupaya memberikan hal yang
lebih dari sekedar balasan atas tindakan kriminal yang dilakukan. Akan tetapi
juga memberikan bimbingan agar di kemudian hari, si pelaku kriminal tersebut
tidak melakukan hal serupa sebab telah tahu dan merasakan tidak enaknya hukuman
yang diderita.
Meski nomenklatur yang dipakai dalam hukum pidana di Indonesia dibedakan
menjadi 2 macam, yakni delik (tindak pidana) dan pelanggaran. Akan tetapi pola
mengenai pemidanaan tetap dalam cakupan 2 mazhab besar tadi.
Di kehidupan sehari-hari kerap ditemui penerapan
kongkrit 2 teori tadi, yang dengan berbagai varian dilakukan oleh penegak
hukum. Bukan institusi Pengadilan, Jaksa ataupun Lembaga Pemasyarakatan yang
akan dibahas oleh penulis sekarang. Akan tetapi tindakan dari ujung tombak
penegakan hukum, yang slogannya melindungi dan mengayomi masyarakat, Polisi.
Kerap anggapan negatif terhadap polisi gampang diujarkan.
Sebab yang sering bersentuhan langsung dengan masyarakat dan kepentingannya
adalah polisi. Dan yang sering dipermasalahkan oleh masyarakat adalah tindakan
pelanggaran berbentuk tilang (tindak pidana ringan dalam lalu lintas).
Di perempatan jalan besar atau menengah, sering
dilihat pos polisi dengan tujuan utama adalah agar lalu lintas di persimpangan
tetap lancar kendati volume kendaraan yang melintas dan berlintasan sangat
besar. Akan tetapi bagi sebagian polisi yang merasa kekurangan, ini sering disalahartikan
dan dimanfaatkan.
Di kota besar, volume kendaraan yang
parallel dengan volume kesibukan, mau tak mau membuat orang tak sabar untuk
mengejar waktu dan kepentingannya. Sehingga sering pula melabrak rambu-rambu
lalu lintas demi segera sampai ke kantor atau segera tunai kepentingannya. Hal
inilah yang sering dimanfaatkan oleh oknum Polisi. Biasanya mereka mengintai di
tempat tersembunyi di sekitar persimpangan, dan menunggu “korban” yang akan
melanggar lalu lintas, kemudian memberikan surattilang. Modus yang kerap
dilakukan adalah, memastikan bahwa si “korban” telah melanggar peraturan,
misalkan dalam hal larangan belok kanan, si Oknum Polisi menunggu pelanggar
tersebut benar-benar telah berada di setengah perjalanan berbelok. Setelah
berada di tengah-tengah jalan berbelok, barulah Oknum Polisi itu muncul secara
tiba-tiba dari warung kopi atau dari gerobak asongan. Setelah itu jelas, sapaan
khas “Selamat Pagi, Selamat Siang, atau Selamat Sore”, akan diucapkan karena
sapaan “Selamat Malam” akan terdengar sangat keterlaluan.
Dan selanjutnya dapat ditebak, tergantung keberanian
si pelanggar, apakah akan diselesaikan dengan cara yang sangat disukai sebagian
besar orang Indonesia yakni “Damai Itu Indah”. Ataukah dengan cara
yang sejalan dengan ketentuan perundang-undangan, yakni menempuh sidang tilang
di Pengadilan.
Bila berprasangka baik, mungkin saja orang-orang bisa
beranggapan bahwa Oknum Polisi itu dengan sangat yakin & mantap
memahami konsep tentang "tertangkap tangan" yang kemudian oleh orang
kebanyakan diadaptasi dengan istilah " tertangkap basah", akan tetapi
bagi sebagian orang lain yang sudah kadung suudzan, maka secara spontan hal itu
dikatakan sebagai "nyari uang tambahan" atau "lumayan buat beli
rokok".
Mungkin beberapa oknum Polisi itu salah mengartikan
teori pemidanaan seperti dibahas di atas. Atau mungkin juga pada saat
mempelajari hukum pidana ketika mereka mengikuti pendidikan polisi, mereka
mengantuk atau bahkan tidak masuk kelas. Yang jelas, adalah tidak tepat
membiarkan orang melakukan tindak pidana (apalagi yang hanya bersifat
pelanggaran), untuk selanjutnya ditindak dan dihukum dengan mendasarkan pada
teori pembalasan ataupun teori pembinaan tersebut di atas. Karena jiwa dari
penegakan hukum adalah, bukan semata bagaimana caranya agar orang yang
melanggar hukum mendapatkan sanksi akibat perbuatannya. Akan tetapi bagaimana
orang mengetahui tindakan yang salah dan benar, dan apa yang terjadi bila itu
dilakukan sehingga mereka tidak melakukan perbuatan melanggar hukum untuk
kesempatan selanjutnya.
Bukan hendak mencerca ataupun menghina kinerja aparat
kepolisian, akan tetapi itulah kenyataan faktual di beberapa tempat, yang tak
perlu dinafikan bahwa itu memang benar-benar terjadi di sekitar kita. Tak perlu
bersikap defensif atau bahkan agresif, yang harus dilakukan adalah berbenah
diri, koreksi diri, apakah tindakan yang dilakukan telah sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum yang benar dan prinsip-prinsip sosial yang beretika?
Silakan dipikirkan dan dilakukan.
Comments
Post a Comment