Proses Dismissal

Adalah merupakan kekhususan dari proses beracara di peradilan tata usaha Negara. Merupakan adaptasi dari proses pemilahan sengketa, apakah merupakan sengketa di bidang tata usaha Negara atau bukan. Sebenarnya, dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sendiri tidak disebutkan secara jelas, istilah Dismissal. Akan tetapi, istilah tersebut berkembang dan digunakan dengan sendirinya. Hal ini mungkin karena istilah dismissal, dirasa lebih singkat, lebih mewakili ataupun lebih keren dibandingkan dengan istilah rapat permusyawaratan.

Di Negara Perancis, proses Dismissal dilakukan oleh hakim Reportir yang melakukan pengklasifikasi jenis sengketa. Di Indonesia, hal tersebut disesuaikan dengan adanya ketentuan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dengan menempatkan kewenangan untuk memilah tersebut pada Ketua Pengadilan. Yang agak kurang pas ialah, dalam ketentuan Pasal tersebut disebutkan bahwa: Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan, dst.

Perlu dikaji kembali, maksud dari “Rapat Permusyawaratan” yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan dalam proses Dismissal itu. Apakah benar-benar dilakukan rapat permusyawaratan, mengingat proses dismissal tersebut hanya dilakukan oleh Ketua Pengadilan dan bukan oleh Majelis Hakim.

Proses dismissal merupakan proses penelitian terhadap gugatan yang masuk di Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Ketua Pengadilan. Dalam proses penelitian itu, Ketua Pengadilan dalam rapat permusyawaratan memutuskan dengan suatu Penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dan ditambah dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan juga di dalam penjelasannya, istilah proses dismissal tidak dikenal, akan tetapi substansi dari makna tersebut diatur dalam Pasal 62 UU PERATUN.

Istilah prosedur dismissal atau proses dismissal hanya dapat ditemui dalam keterangan Pemerintah di hadapan siding paripurna DPR-RI yang mengantarkan RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh, S.H., pada tanggal 29 April 1986.

Pasal 62 UU PERATUN tidak mengatur secara terperinci bagaimana mekanisme pemeriksaan terhadap gugatan yang masuk dalam proses dismissal. Untuk mengisi kekosongan hukum acaranya, Mahkamah Agung dalam SEMA No. 2 Tahun 1991 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Di Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Romawi II, antara lain mengatur sebagai berikut :

a. Prosedur dismissal dilaksanakan oleh Ketua dan dapat juga menunjuk seorang Hakim sebagai reporteur (raportir).

b. Pemeriksaan dilaksanakan dalam rapat permusyawaratan (di dalam kamar Ketua) atau dilaksanakan secara singkat.

c. Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan para pihak sebelum menentukan Penetapan Dismissal apabila dianggap perlu.

d. Penetapan Dismissal berisi gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dan Penetapan tersebut ditandatangani oleh Ketua dan Panitera Kepala/Wakil Panitera. Wakil Ketua Pengadilan dapat pula menandatangani Penetapan Dismissal dalam hal Ketua Pengadilan berhalangan.

e. Penetapan Dismissal diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkan.

f. Dalam hal ada petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan, maka dimungkinkan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut (dismissal parsial).

g. Dalam hal ditetapkan dismissal parsial, ketentuan perlawanan terhadap Penetapan Dismissal berlaku juga dalam hal ini.

h. Di dalam “mendismissal gugatan” hendaknya Ketua Pengadilan tidak terlalu mudah menggunakan Pasal 62 tersebut, kecuali mengenai Pasal 62 ayat (1) butir a dan e.

ALASAN-ALASAN UNTUK “MENDISMISSAL GUGATAN”

Alasan-alasan yang dapat dipakai untuk melakukan dismissal terhadap gugatan ditentukan secara limitatif dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu :

a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan.

Yang dimaksud dengan “pokok gugatan”, menurut penjelasannya adalah fakta yang dijadikan dasar gugatan. Atas dasar fakta tersebut Penggugat mendalilkan adanya suatu hubungan hukum tertentu, dan oleh karenanya mangajukan tuntutan.

b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh Penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan.

(tidak jelas yang dimaksud dalam ketentuan ini, mungkin pemberitahuan mengenai Pasal 56 dilakukan pada saat penelitian administrative di kepaniteraan, sbelum sampai di tangan Ketua Pengadilan. Akan tetapi bukankah saran penyempuraan itu ada pada saat pemeriksaan persiapan, yang dengan otomatis telah melewati proses dismissal?)

c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.

(terkait kepentingan penggugat, posita dan petitum tidak berkaitan, tergugat tidak ada atau hal-hal lain).

d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan TUN yang digugat.

(adanya keputusan tata usaha Negara baru, yang belum/tidak diketahui oleh Penggugat).

e. Gugatan diajukan sebelum waktunya, atau telah lewat waktunya.

(Gugatan Prematur atau malah daluwarsa secara jelas)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang