Prestasi dan Publikasi

Seperti yang penulis khawatirkan sebelumnya, tim nasional Indonesia akhirnya gagal merengkuh tahta juara di Piala AFF. Besarnya ekspektasi dan euphoria, menyebabkan semua ini terasa lebih menyakitkan. Mungkin sebagian besar masyarakat bisa menerima dan mahfum akan kegagalan-untuk keempat kalinya- tim nasional kita, setelah melangkah ke babak final. Akan tetapi agaknya tetap saja terasa pahit bila mengingat kiprah kita di pertandingan-pertandingan sebelumnya. Terlebih yang mengalahkan kita adalah saudara “dekat tapi jauh” kita, Malaysia. Maka, semakin lengkaplah kebencian kita terhadap Malaysia.

Terlepas dari itu, sebenarnya tidak akan terlalu besar kekecewaan yang muncul andaikan ekspose dan pengharapan kita tak berlebihan terhadap Tim Nasional Sepakbola. Coba kita ingat, selama perhelatan Piala AFF berlangsung, sorotan terhadap Tim Nasional kita terasa agak berlebihan, terlebih setelah melangkah tanpa cela di babak penyisihan. Hampir seluruh stasiun televisi, dalam waktu bersamaan menyiarkan berita tentang kiprah tim nasional kita. Tak hanya bersamaan, berita yang sama pun dilakukan berulang-ulang dengan frekuensi yang agak kurang wajar. Segala aspek diwacanakan dan dibahas, seolah-olah kita sudah menjadi juara. Dan pahitnya, hal itu hanya ada dalam wacana dan berita, tidak pada kenyataannya.

Tak dapat dipungkiri, sepakbola adalah olahraga paling populer di dunia. Termasuk Indonesia. Namun perlu diingat juga, bukan olahraga sepakbola yang membuat harum nama bangsa kita. Bukan sepakbola juga yang membuat nama negara kita diperhitungkan di pentas dunia. Mungkin perlu diingatkan, Bulutangkis lah yang melakukan itu semua.

Beberapa waktu ke belakang, salah seorang atlet bulutangkis pernah mengeluh betapa besarnya perhatian (juga anggaran) Pemerintah kepada sepakbola. Sedangkan ke cabang olahraga yang jelas-jelas telah mengharumkan nama bangsa ini, hanya diberikan perhatian (dan anggaran) seperlunya saja. Frekuensi keikutsertaan atlet bulutangkis Indonesia di ajang internasional, jelas lebih banyak daripada cabang sepakbola. Namun adakah ekspose berlebihan kepada mereka? Sepertinya tidak.

Inilah yang dikhawatirkan oleh penulis. Memberikan ekspose, publikasi, serta perhatian (termasuk anggaran) yang berlebihan kepada cabang sepakbola, hanya akan memberikan perasaan iri dari atlet-atlet cabang olahraga lain yang jelas-jelas jauh lebih bisa berprestasi.

Tidak kita dengar gaung pembinaan atau publikasi kepada cabang olahraga Dayung Naga yang sudah menyumbangkan lebih dari sepertiga medali emas di Asian Games kemarin. Atau regenerasi terhadap atlet-atlet bulutangkis yang juga kerap menyumbangkan medali emas di ajang-ajang internasional.

Bukan hendak mempermasalahkan kepopuleran sepakbola, akan tetapi hendaknya pemerintah lebih arif dalam melakukan pengalokasian anggaran dalam hal penyediaan sarana dan prasarana, maupun insentif atas prestasi yang dicapai. Tak hanya pemerintah, media pun hendaknya memberikan perhatian yang lebih proporsional terhadap berbagai cabang olahraga. Publikasi maupun pemberitaan yang dilakukan hendaknya dalam tatanan yang wajar, tidak berlebihan, atau secara sederhana tidak usah lebay. Sehingga tekanan yang dirasakan atlet pun tidak berlebihan. Pun saat tidak bisa menghadirkan prestasi pada akhirnya, tidak ada perlu muncul kekecewaan yang memuncak. Dan Publikasi berjalan searah dengan Prestasi, bukan malah Prestasi karena adanya Publikasi.

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang