Eksepsi (Bagian II)

Dari hal tersebut, dapat ditarik suatu hubungan kausalitas antara ketentuan pasal 1 angka 10 dengan ketentuan pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Tanpa adanya suatu keputusan tata usaha negara, tidak akan ada suatu sengketa tata usaha negara. Sehingga suatu keputusan tata usaha negara, merupakan condition sine qua non, hal yang harus ada maka timbullah suatu sengketa tata usaha negara.

Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 juga dijelaskan lebih lanjut mana yang merupakan keputusan tata usaha negara dimana Pengadilan (Tata Usaha Negara) memiliki kewenangan untuk mengadilinya. Di dalam ketentuan pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa:

(1). Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

(2). Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

(3). Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Maksud ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah mengenai suatu keputusan tata usaha negara yang fiktif (tidak ada). Ini berarti bahwa secara tidak langsung, Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan mengeluarkan penolakan dengan tidak menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud. Dan di dalam hukum acara tata usaha negara, hal tersebut disamakan dengan menerbitkan penolakan. Jadi, munculah istilah Keputusan Tata Usaha Negara yang fiktif (tidak ada/tidak berbentuk keputusan tertulis) dan negatif (isinya adalah penolakan/dianggap ditolak). Ketentuan ini muncul dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, sebagai suatu alternatif dalam hal adanya keadaan dimana masyarakat yang memerlukan suatu kepastian hukum dengan memohonkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, akan tetapi oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang dimohonkan tidak diterbitkan, sehingga mengakibatkan ketidakpastian status hukum bagi si Pemohon (masyarakat) apabila Keputusan Tata Usaha Negara a quo seterusnya tidak dapat diterbitkan, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kerugian. Sehingga untuk menutupi kelemahan rumusan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hukum acara tata usaha negara (vide pasal 1 angka 9 undang-undang Nomor 51 Tahun 2009), maka ketentuan ini dapat dipakai sebagai addendum pengertian Keputusan Tata Usaha Negara.

Namun terhadap rumusan tersebut, dapat pula dikaji apakah sikap diamnya Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dengan tidak menerbitakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dimohonkan merupakan suatu bentuk penetapan, ataukah merupakan suatu tindakan/perbuatan? Yang jelas apabila hal tersebut dianggap sebagai suatu tindakan/perbuatan, maka bukanlah merupakan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya.

Dalam Pasal 3 ayat (2) dapat diterangkan bahwa, apabila jangka waktu dalam penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan dasarnya telah terlampaui, maka Badan/Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak permohonan atau dalam konteks ini dianggap telah mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang berupa penolakan permohonan. Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (3), dijelaskan bahwa apabila tidak ada peraturan dasar yang mengatur batas waktu penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud, maka dihitung empat (4) bulan sejak diterimanya permohonan penerbitan, Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tidak diterbitkan, maka Badan/Pejabat Tata Usaha Negara tersebut telah menolak dan dianggap menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara berupa penolakan.

Jadi, rumusan untuk kewenangan absolut Pengadilan Tata Usaha Negara adalah:

Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986 + Pasal 1 Angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 + Pasal 3 UU No. 6 Tahun 1986.

Selain kewenangan absolut itu, ada pula pengecualian terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang bisa diperiksa, diputus dan diselrsaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Yakni ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, yang berbunyi:

Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;

c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;

e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;

g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.”

Rumusan pengecualian Keputusan Tata Usaha Negara yang bisa diperiksa, diputus dan diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut muncul untuk mencegah terjadinya tumpang tindih kewenangan diantara Lingkungan Peradilan yang ada di Indonesia. Dalam huruf a, merupakan kewenangan Peradilan Agama dan/atau Peradilan Umum untuk mengadilinya Keputusan Tata Usaha Negara dalam huruf d, dan e merupakan kewenangan Peradilan Umum. Keputusan Tata Usaha Negara dalam huruf c, merupakan kewenangan Intern dari institusi yang menerbitkan KTUN. KTUN dalam huruf b merupakan kewenangan Mahkamah Agung (untuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang) atau Mahkamah Konstitusi (untuk undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945). KTUN dalam huruf f merupakan kewenangan Peradilan Militer untuk mengadilinya, sedangkan KTUN yang dimaksud dalam huruf g, merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya.

Pembatasan pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara juga terdapat dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yakni mengenai Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki upaya penyelesaian secara administratif di intern Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkannya. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikannya apabila seluruh upaya administratif tersebut telah dilakukan. Seperti diatur dalam Pasal 48 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986, yang berbunyi:

“Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan”.

Sebenarnya rumusan pasal 48 ayat (2) tersebut, agak kurang tepat apabila dikatakan bukan kewenangan absolut pengadilan tata usaha negara, karena sebenarnya pada Keputusan Tata Usaha Negara tersebut masih ada kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya, hanya saja itu muncul setelah seluruh upaya administratif ditempuh. Namun apabila hal itu dikategorikan sebagai kompetensi yang relatif, akan mejadi tidak tepat juga, sebab telah ada konsensus bahwa kewenangan relatif hanya mengenai batas wilayah yurisdiksi mengadili saja. Sehingga menurut penulis, untuk Pasal 48 ayat (2) ini, belum ada nomenklatur yang tepat untuk menamainya sebagai kewenangan apa.

Lebih lanjut, perlu dikaji lagi Pengadilan manakah yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 48 ayat (2) tersebut, apakah Pengadilan Tata Usaha Negara (tingkat Pertama), ataukah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (tingkat banding). Sebab di dalam praktek, apabila suatu Keputusan Tata Usaha Negara telah menempuh upaya administratif untuk penyelesaiannya, maka apabila sengketa tersebut terus berlanjut maka menjadi kewenangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya.

Hal ini, dapat dimengerti apabila dihubungkan dengan adanya 2 istilah dan pranata terkait upaya administratif, yaitu Keberatan dan Banding Administratif. Tidak diketahui dari mana istilah dan pengkategorian tersebut, karena di dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sendiri tidak ditemukan kedua istilah tersebut. Hanya menyebutkan upaya administratif saja.

Selanjutnya, pengecualian terhadap Keputusan Tata Usaha Negara juga ada pada ketentuan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. Keputusan Tata Usaha Negara dimaksud adalah yang diterbitkan:

a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bersambung…

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang