Refleksi Bulan Agustus

Tak terasa hampir dua pekan kita meninggalkan Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Angkatan V, tentunya banyak warna baru dalam pekerjaan kita di Unit Kerja masing-masing. Satu hal yang pasti ada perubahan dalam diri kita masing-masing, baik dalam bersikap maupun kinerja kita. Setidaknya DIKLAT yang telah kita sama-sama tempuh, membekaskan sedikit perbaikan dalam benak dan pemikiran kita.

Dan bukan kebetulan pula, setelah selesai DIKLAT itu kita dihadapkan pada DIKLAT yang lain. Namun lebih istimewa sebab ini merupakan DIKLAT Rutin tahunan bagi Umat Muslim. Dan pesertanya pun tak hanya di Indonesia, namun dari seluruh penjuru dunia. Maka marilah kita bersama-sama menyambutnya: Marhaban Ya Ramadhan.

Yang menjadikannya istimewa kali ini adalah Bulan Ramadhan bertepatan dengan hirup pikuk menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-65, dan sudah barang tentu menjadikan dua perayaan besar ini disambut dengan sukacita dan kemeriahan disana-sini, yang entah ditujukan untuk menyambut Ramadhan atau menyongsong peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Melihat kepada sejarah bangsa, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 juga dilangsungkan dalam suasana bulan Ramadhan. Sehingga atmosfir khidmat, dan semangat Patriotisme bersinergi dengan dentuman spriritualitas yang membumbung. Maka pertanyaannya adalah, apakah kita akan kembali meraih sinergi itu di saat sekarang?

Berbagai isu yang muncul silih berganti seolah menenggelamkan kesadaran diri kita atas esensi sebenarnya dari kemerdekaan maupun ghirah di bulan Ramadhan. Sangat jarang, kita memaknai apa hakikat sebenarnya dari kemerdekaan yang telah diraih 65 tahun yang lalu. Apakah dengan perlombaan tarik tambang, panjat pinang, menghias gapura seindah-indahnya, atau berkonvoi ria dengan kostum-kostum yang beraneka warna dengan mengabaikan masalah-masalah yang “timbul” dari adanya kemerdekaan, seperti tabung kompor gas meledak, penanganan teroris, pertikaian SARA, dan persoalan hukum-hukum yang menyita waktu dan tenaga.

Atau bagaimana kita semestinya memanfaatkan sebaik-baiknya momen Ramadhan ini, apakah dengan bergerombol saat tarawih, berlomba-lomba mengeraskan suara saat tadarus, atau malah hanya tidur karena itu juga dianggap ibadah?

Syahrul Jihad seperti yang diistilahkan Rasulullah SAW, benar-benar harus diartikan sebagai sebuah pertarungan untuk memenangkan diri kita atas nafsu. Dan para pendiri negara kita memaknai itu dengan tepat, terlepas dari polemik yang muncul dalam kajian sejarah, yang pasti adalah pada saat itu mereka berjuang demi kemerdekan, dan bersabar memanti momen yang tepat untuk menyatakan kemerdekaan pada saat bulan Ramadhan sehingga kemudian berhasil mewujudkan titik kulminasi perjuangan itu melalui sebuah Proklamasi Kemerdekaan.

Sebagai Calon Hakim, hendaknya kita juga memaknai dan melakukan sesuatu untuk bisa terlibat dalam Syahrul Jihad itu. Ramadhan adalah merupakan rangkaian Diklat, dari Diklat-Diklat yang telah dan akan kita lalui bersama. Sertipikatnya tak kasat mata, hanya kita dan Allah saja yang tahu. Tapi yakinlah, Diklat ini sangat bermakna dan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai pendidikan dan pelatihanan di sebelas bulan selanjutnya. Jadi, siapkah kita menempuh pendidikan ini dan lulus dalam berbagai ujiannya. Semoga di penghujung Ramadhan, kita dinyatakan lulus dan menyandang predikat TAQWA. Amiinn.

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang