Warna-warni Pemilu 2009 (bag 2)
Sekitar 3 pekan sudah, rakyat Indonesia urun rembug menentukan siapa wakil mereka di dewan legislatif. Selama itu pula Komisi Pemilihan Umum, KPUD Provinsi, KPUD Kabupaten/Kota, PPK dan KPPS disibukkan serta dipusingkan oleh berbagai macam persoalan sekitar pemilihan umum legislatif pasca pelaksanaannya.
Tak terbantahkan keruwetan dan kompleksitas persoalan yang sebagian besar belum terselesaikan, membuat kinerja para anggota KPU dari pusat sampai daerah itu kelabakan dan kewalahan. Seputar DPT, manipulasi jumlah suara, rekapitulasi yang semrawut, pidana pemilu dan sebagainya merupakan mosaik-mosaik yang menempel pada pelaksanaan hajat demokrasi ke-3 pasca reformasi dan ke-9 pasca orde lama runtuh ini.
Selain persoalan teknis dan institusi pemilu, ada pula fenomena menyedihkan yang menimpa sejumlah calon legislatif yang urung jadi legislator. Stress, gangguan jiwa, bangkrut dan sebagianya adalah efek nyata dari keinginan berkuasa segelintir orang. Dan memang demokrasi seperti itu, berbagai kemungkinan dapat terjadi pada siapapun. Tukang becak jadi legislator, atau pengusaha yang tertekan karena kekayaan yang dikeluarkan untuk kampanye tidak otomatis membuatnya terpilih menjadi wakil rakyat. Jadi, kita perlu prihatin kepada pertama, pelaksanan pemilu, kedua kepada para anggota KPU (pusat dan daerah), kita juga perlu prihatan dengan para calon anggota legislatif yang tidak terpilih padahal sudah mengerahkan segenap daya dan upaya untuk mencapai tujuan itu. Mari berdoa bersama untuk ketiga keprihatinan itu.
Senada dengan kesibukkan para anggota Komisi Pemilihan Umum, para politikus pun mulai bergerilya. Bergerak membuat manuver setelah mengetahui ataupun hanya sekedar memprediksi bagaimana peluang mereka meraih suara yang umumnya mengecewakan, atau bagaimana peluang mereka meraih kekuasaan setelah ini, dengan modal suara yang didapatkan.
Dengan sistem multipartai murni yang diterapkan di Indonesia, agak mustahil bila suatu kelanggengan kekuasaan didirikan tanpa koalisi. Fragmentasi suara, menyebabkan dukungan partai-partai merupakan syarat terjadinya pemerintahan yang stabil dan efektif. Meskipun tidak berpotensi membuat terhentinya kabinet di tengah jalan, seperti halnya bila dalam sistem parlementer, namun ketiadaan koalisi pemerintahan akan menghambat atau setidaknya membuat segala kebijakan yang dibangun pemerintah kelak menjadi tersendat dan cenderung parsial, tidak sistemik.
Silaturahmi politik yang dilakukan oleh banyak tokoh nasional, semuanya mengatasnamakan rakyat dan demokrasi. Ada yang membahas tentang kemungkinan koalisi pemerintahan dimasa yang akan datang, ada pula yang mempersoalkan pelaksanaan pemilu yang kacau, berbagai kecurangan dalam pemilu bahkan antisipasi kemungkinan kejadian serupa muncul pada pemilihan presiden mendatang.
Terlepas dari itu semua, pelajaran moral yang patut diambil adalah memastikan bahwa segala hal yang terjadi hendaknya disikapi dengan bijak dan kepala dingin. Tidak perlu kecewa dengan hal yang terjadi pada kita. Calon kita kalah, partai kita kalah, atau bahkan kita sendiri yang kalah dalam pemilihan umum kemarin. Itu adalah hal lumrah. Demokrasi memang seperti pertandingan, ada yang menang ada juga yang kalah.
Jadi jangan heran dengan semua itu, tidak perlu frustasi apalagi bunuh diri. Ingat sebuah pemeo bahwa "tidak semua yang kita inginkan, bisa kita dapatkan". Atau ketika kita menganggap dunia ini tidak adil, ingatlah juga pemeo "hidup memang tak pernah adil bagi siapapun".
Hanya yang berjiwa besar yang mampu menerima keadan terburuk sekalipun, dengan berbagai pengorbanan, waktu dan biaya yang telah dikeluarkan sebelum pelaksanaan pemilihan umum, hendaknya legowo dengan hasil yang dituai. Siapapun itu.
Hal terakhir adalah berkontemplasi dan koreksi pribadi, serta menyadari sepenuhnya bahwa kita hanya benar-benar merencanakan, dan Tuhan-lah yang benar-benar menentukan.
Cirebon, 28 April 2009
Kang Mpeb
Tak terbantahkan keruwetan dan kompleksitas persoalan yang sebagian besar belum terselesaikan, membuat kinerja para anggota KPU dari pusat sampai daerah itu kelabakan dan kewalahan. Seputar DPT, manipulasi jumlah suara, rekapitulasi yang semrawut, pidana pemilu dan sebagainya merupakan mosaik-mosaik yang menempel pada pelaksanaan hajat demokrasi ke-3 pasca reformasi dan ke-9 pasca orde lama runtuh ini.
Selain persoalan teknis dan institusi pemilu, ada pula fenomena menyedihkan yang menimpa sejumlah calon legislatif yang urung jadi legislator. Stress, gangguan jiwa, bangkrut dan sebagianya adalah efek nyata dari keinginan berkuasa segelintir orang. Dan memang demokrasi seperti itu, berbagai kemungkinan dapat terjadi pada siapapun. Tukang becak jadi legislator, atau pengusaha yang tertekan karena kekayaan yang dikeluarkan untuk kampanye tidak otomatis membuatnya terpilih menjadi wakil rakyat. Jadi, kita perlu prihatin kepada pertama, pelaksanan pemilu, kedua kepada para anggota KPU (pusat dan daerah), kita juga perlu prihatan dengan para calon anggota legislatif yang tidak terpilih padahal sudah mengerahkan segenap daya dan upaya untuk mencapai tujuan itu. Mari berdoa bersama untuk ketiga keprihatinan itu.
Senada dengan kesibukkan para anggota Komisi Pemilihan Umum, para politikus pun mulai bergerilya. Bergerak membuat manuver setelah mengetahui ataupun hanya sekedar memprediksi bagaimana peluang mereka meraih suara yang umumnya mengecewakan, atau bagaimana peluang mereka meraih kekuasaan setelah ini, dengan modal suara yang didapatkan.
Dengan sistem multipartai murni yang diterapkan di Indonesia, agak mustahil bila suatu kelanggengan kekuasaan didirikan tanpa koalisi. Fragmentasi suara, menyebabkan dukungan partai-partai merupakan syarat terjadinya pemerintahan yang stabil dan efektif. Meskipun tidak berpotensi membuat terhentinya kabinet di tengah jalan, seperti halnya bila dalam sistem parlementer, namun ketiadaan koalisi pemerintahan akan menghambat atau setidaknya membuat segala kebijakan yang dibangun pemerintah kelak menjadi tersendat dan cenderung parsial, tidak sistemik.
Silaturahmi politik yang dilakukan oleh banyak tokoh nasional, semuanya mengatasnamakan rakyat dan demokrasi. Ada yang membahas tentang kemungkinan koalisi pemerintahan dimasa yang akan datang, ada pula yang mempersoalkan pelaksanaan pemilu yang kacau, berbagai kecurangan dalam pemilu bahkan antisipasi kemungkinan kejadian serupa muncul pada pemilihan presiden mendatang.
Terlepas dari itu semua, pelajaran moral yang patut diambil adalah memastikan bahwa segala hal yang terjadi hendaknya disikapi dengan bijak dan kepala dingin. Tidak perlu kecewa dengan hal yang terjadi pada kita. Calon kita kalah, partai kita kalah, atau bahkan kita sendiri yang kalah dalam pemilihan umum kemarin. Itu adalah hal lumrah. Demokrasi memang seperti pertandingan, ada yang menang ada juga yang kalah.
Jadi jangan heran dengan semua itu, tidak perlu frustasi apalagi bunuh diri. Ingat sebuah pemeo bahwa "tidak semua yang kita inginkan, bisa kita dapatkan". Atau ketika kita menganggap dunia ini tidak adil, ingatlah juga pemeo "hidup memang tak pernah adil bagi siapapun".
Hanya yang berjiwa besar yang mampu menerima keadan terburuk sekalipun, dengan berbagai pengorbanan, waktu dan biaya yang telah dikeluarkan sebelum pelaksanaan pemilihan umum, hendaknya legowo dengan hasil yang dituai. Siapapun itu.
Hal terakhir adalah berkontemplasi dan koreksi pribadi, serta menyadari sepenuhnya bahwa kita hanya benar-benar merencanakan, dan Tuhan-lah yang benar-benar menentukan.
Cirebon, 28 April 2009
Kang Mpeb
Comments
Post a Comment