Warna-warni Pemilu 2009 (bag I)
Ada beberapa poin yang patut direnungi pasca pelaksanaan hajat demokrasi 9 April lalu. Munculnya berbagai rekasi atas pelaksanaan pemilihan umum baik yang bersifat memuji pelaksanaannya maupun protes hujatan dan cercaan terhadap aneka kecacatan, kekurangan dan kekacauan sana-sini yang mengakibatkan opini publik terbelah menjadi dua.
Seperti yang diprediksi (maupun diinginkan) pihak-pihak tertentu, bahwa pelaksanaan pemilihan umum akan terkendala berbagai masalah yang sebelum pelaksanaannya pun sudah mencuat, kendala logistik, kisruh Daftar Pemilih Tetap, sampai dugaan mobilisasi maupun rekayasa terhadap akumulasi suara yang terkumpul mencadi warna tersendiri dalam pemilihan umu ketiga pasca reformasi. Bahkan ada kalangan yang menilai pemilihan ini terburuk sejak orde reformasi lahir.
Bukan tanpa alasan yang jelas kiranya tanggapan miring itu muncul. Menjelang detik-detik masa kampanye, muncul fakta yang menggegerkan tentang DPT yang direkayasa di salah satu daerah di Jawa Timur. Modusnya adalah DPT ganda, baik nama, alamat, maupun kombinasi keduanya, DPT fiktif, DPT telah meninggal, DPT tidak sesuai (umur) dan sebagainya. Hal yang sebelumnya ditangkis oleh KPU sebagai hal yang kasuistis dan tidak dapat digeneralisir. Namun, faktanya kemudian muncul kasus-kasus serupa di berbagai pelosok nusantara. Pemberitaan di berbagai media elektronik membuktikan hal itu. Bahkan tak hanya menimpa masyarakat biasa, ada pula dalam kasus tertentu salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi tidak tercantum dalam DPT untuk pemilihan umum. Sederhananya, bila pejabat publik saja tidak tercantum dalam DPT, bisa jadi beriatus-ratus, atau bahkan beribu-ribu masyarakat biasa terabaikan dan tersingkirkan dari DPT. Yang artinya adalah pencederaan terhadak hak demokrasi dan salah satu hak asasi warga Negara yang dijamin oleh undang-undang. Bukankah pelanggaran terhadapnya juga bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi?
Namun kita tidak sepatutnya juga menyalahkan bulat-bulat kepada para anggota Komisi Pemilihan Umum, yang jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pemilu menyatakan bahwa pemilihan umum akan dilaksakanan sesuai rencana, apapun yang terjadi. Kita perlu mengapresiasi kepercayaan diri juga kerja keras para anggota KPU selama rentang waktu setahun terakhir dalam mempersiapkan pemilihan umum. Tapi juga harus diakui ada beberapa hal yang tidak dilakukan dan dilewatkan para anggota KPU tersebut.
Lebih adil, bahwa kekacauan yang terjadi pada pemilihan umum kemarin bisa dijadikan sebagai pelajaran kita untuk menghadapi Pemilihan Presiden maupun PILKADA dan pemilihan-pemilihan umum selanjutnya.
Ada beberapa hal yang memang menyebabkan agak terganggunya pelaksanaan pemilihan umum yang berlangsung pekan lalu. Pertama ialah, perubahan sistem mencoblos menjadi mencontreng. Tidak mudah memang, mengubah kebiasaan yang sudah mendarah daging dan turun temurun dilakukan. Meskipun itu ditujukan untuk “peningkatan taraf pemahaman” masyarakat terhadap perbuatan memilih, namun pelru juga dipikirkan dampak psikologis dan efektivitasnya terhadap masyarakat dengan latar belakang pendidikan dan kebiasaan yang heterogen. Namun yang patut disyukuri, perubahan sistem tersebut tidak terlalu mengagetkan masyarakat. Hanya mengubah kebiasaan membolongi kertas, dan menggantinya dengan sedikit menggunakan “rasa seni”, mengerakkan pergelangan tangan dari atas ke bawah kemudian ke atas lagi, dengan mencoretkan pulpen membentuk ceklis. Hal yang sangat sederhana untuk orang yang berpengajaran, namun amat sukar dipahami secara luar biasa oleh orang-orang yang sederhana, pendapatan dan pemikirannya.
Tak cukup sampai disana, pera pemilih juga harus memastikan bahwa tanda ceklis yang mereka coretkan hanya diterakan pada salah satu calon legislatif saja, atau pada partai saja, atau pada foto calon anggota DPD saja. Bisa dibayangkan hal sederhana ini bila diterangkan untuk dilakukan oleh orang sederhana seperti yang penulis sebutkan di atas.
Kedua, terlalu banyaknya partai dan calon anggota legislatif yang berkompetisi di pemilihan umum. Disini berlaku hukum, banyak pilihan malah semakin membingungkan. Sederhananya, lebih gampang mana seorang yang memiliki pilihan tiga dengan yang memiliki pilihan sepuluh? padahal waktu yang dilakukan untuk memilih adalah sama, dan hal yang dipilih pun tidak terlalu berakibat signifikan bagi jumlah utang atau beban hidup yang mereka tanggung sehari-hari.
Dalam hal ini, perlu juga diminta kesungguhan serta kesadaran para anggota dewan yang telah terpilih untuk lebih menyederhanakan jumlah partai yang bertarung. Mesti ada regulasi berdasarkan hati nurani bukan demi kepentingan elit politik yang bersifat temporer dan parsial saja, namun yang menguntungkan masyarakat agar mereka tidak terlalu bingung dengan jumlah partai dan caleg yang harus dipilih. Dasarnya adalah bahwa aturan tentang pemilihan umum (legislatif maupun presiden), setiap akan dilaksanakan pemilihan umum selalu disepakati undang-undang yang baru. Hal itu mencakup electoral threshold, syarat keikutsertaan pemilu, batas minimal pencalonan pasangan capres/cawapres, dan sebagainya. Kesan yang timbul dari itu adalah bahwa undang-undang pemilu itu dibuat, semata-mata hanya untuk melanggengkan kekuasaan elit politik dan partainya yang telah mapan dan berkuasa, dengan menciptakan aturan yang kompromistis, tidak konsisten serta ambigu pada setiap momennya. Agak kurang etis memang, apabila sebuah aturan seringkali diubah. Bila hal itu terjadi, tertib hukum, atau keteraturan apa yang bisa diharapkan?
Bila ada sanggahan bila pembatasan itu dianggap mecerabuti hak asasi yang telah dijamin dalam konstitusi, maka menjadi tugas para legislator dan Hakim Konstitusilah untuk membuat dan membuktikan bahwa hal itu tidak akan terjadi.
Ketiga, sebenarnya tugas anggota KPU bertambah ketika gugatan konstitusi tentang cara penentuan calon terpilih adalah berdasarkan suara terbanyak dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Hal ini, mungkin semakin menambah rumit kerja KPU yang sudah menumpuk, mengingat keputusan ini keluar hanya beberapa bulan menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Maka proses penghitungan suara pun semakin rumit dan agak merepotkan panitia pemungutan suara, dampak akhirnya ialah adanya keterlambatan penghitungan dan rekapitulasi suara. Mungkin lebih bijak bila keputusan tentang penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi, namun pelaksanaannya ditangguhkan untuk pemilu selanjutnya agar persiapan KPU lebih mantap, mengingat sudah dekatnya pelaksanaan pemilu pada waktu itu. Seperti pada perkara boleh atau tidaknya calon perseorangan (non-partai) bertarung dalam pemilihan presiden.
Keempat, masalah Daftar Pemilih Tetap. Yang memiliki proporsi kesalahan lebih besar sejatinya adalah petugas lapangan di daerah, dengan tingkat administratif paling kecil. Pendataan tentang calon pemilih, tidaklah dilakukan oleh KPU ataupun KPUD secara langsung, melainkan melalui petugas KPPS yang langsung terjun ke lapangan. Jadi kalau dirunut, pertanggungjawaban tentang kekisruhan DPT itu, proporsi terbesar ada pada petugas KPPS. Merekalah yang melakukan pendataan rumah ke rumah, kepala per kepala, dan hasilnya kemudin dilaporkan kepada KPUD yang akan diteruskan kepada KPU untuk dibuatkan DPT. Maka kisruh DPT sebenarnya adalah kesalahan pada tahap awal pendataan calon pemilih. Entah dengan melakukan pendataan asal-asalan, data fiktif maupun enggannya berkomunikasi dengan pihak-pihak lain yang terkait. Dan persoalan sederhana tentang kelalaian itu, menjadi kompleks, ketika terakumulasi secara nasional, dan dilakukan tak hanya oleh satu atau dua orang petugas pendata saja, tapi beribu-ribu pendata di seluruh Indonesia. Namun, alasan ketidakakuratan itu bisa saja dilemparkan kembali kepada KPU. Masalah keterbatasan anggaran operasional yang diberikan, bisa juga dijadikan alasan oleh para petugas pendataan. Bukankah kita selalu pandai mencari alasan?
Cirebon, 19 April 2009
Cag ah,
Kang Mpeb.
Seperti yang diprediksi (maupun diinginkan) pihak-pihak tertentu, bahwa pelaksanaan pemilihan umum akan terkendala berbagai masalah yang sebelum pelaksanaannya pun sudah mencuat, kendala logistik, kisruh Daftar Pemilih Tetap, sampai dugaan mobilisasi maupun rekayasa terhadap akumulasi suara yang terkumpul mencadi warna tersendiri dalam pemilihan umu ketiga pasca reformasi. Bahkan ada kalangan yang menilai pemilihan ini terburuk sejak orde reformasi lahir.
Bukan tanpa alasan yang jelas kiranya tanggapan miring itu muncul. Menjelang detik-detik masa kampanye, muncul fakta yang menggegerkan tentang DPT yang direkayasa di salah satu daerah di Jawa Timur. Modusnya adalah DPT ganda, baik nama, alamat, maupun kombinasi keduanya, DPT fiktif, DPT telah meninggal, DPT tidak sesuai (umur) dan sebagainya. Hal yang sebelumnya ditangkis oleh KPU sebagai hal yang kasuistis dan tidak dapat digeneralisir. Namun, faktanya kemudian muncul kasus-kasus serupa di berbagai pelosok nusantara. Pemberitaan di berbagai media elektronik membuktikan hal itu. Bahkan tak hanya menimpa masyarakat biasa, ada pula dalam kasus tertentu salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi tidak tercantum dalam DPT untuk pemilihan umum. Sederhananya, bila pejabat publik saja tidak tercantum dalam DPT, bisa jadi beriatus-ratus, atau bahkan beribu-ribu masyarakat biasa terabaikan dan tersingkirkan dari DPT. Yang artinya adalah pencederaan terhadak hak demokrasi dan salah satu hak asasi warga Negara yang dijamin oleh undang-undang. Bukankah pelanggaran terhadapnya juga bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi?
Namun kita tidak sepatutnya juga menyalahkan bulat-bulat kepada para anggota Komisi Pemilihan Umum, yang jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pemilu menyatakan bahwa pemilihan umum akan dilaksakanan sesuai rencana, apapun yang terjadi. Kita perlu mengapresiasi kepercayaan diri juga kerja keras para anggota KPU selama rentang waktu setahun terakhir dalam mempersiapkan pemilihan umum. Tapi juga harus diakui ada beberapa hal yang tidak dilakukan dan dilewatkan para anggota KPU tersebut.
Lebih adil, bahwa kekacauan yang terjadi pada pemilihan umum kemarin bisa dijadikan sebagai pelajaran kita untuk menghadapi Pemilihan Presiden maupun PILKADA dan pemilihan-pemilihan umum selanjutnya.
Ada beberapa hal yang memang menyebabkan agak terganggunya pelaksanaan pemilihan umum yang berlangsung pekan lalu. Pertama ialah, perubahan sistem mencoblos menjadi mencontreng. Tidak mudah memang, mengubah kebiasaan yang sudah mendarah daging dan turun temurun dilakukan. Meskipun itu ditujukan untuk “peningkatan taraf pemahaman” masyarakat terhadap perbuatan memilih, namun pelru juga dipikirkan dampak psikologis dan efektivitasnya terhadap masyarakat dengan latar belakang pendidikan dan kebiasaan yang heterogen. Namun yang patut disyukuri, perubahan sistem tersebut tidak terlalu mengagetkan masyarakat. Hanya mengubah kebiasaan membolongi kertas, dan menggantinya dengan sedikit menggunakan “rasa seni”, mengerakkan pergelangan tangan dari atas ke bawah kemudian ke atas lagi, dengan mencoretkan pulpen membentuk ceklis. Hal yang sangat sederhana untuk orang yang berpengajaran, namun amat sukar dipahami secara luar biasa oleh orang-orang yang sederhana, pendapatan dan pemikirannya.
Tak cukup sampai disana, pera pemilih juga harus memastikan bahwa tanda ceklis yang mereka coretkan hanya diterakan pada salah satu calon legislatif saja, atau pada partai saja, atau pada foto calon anggota DPD saja. Bisa dibayangkan hal sederhana ini bila diterangkan untuk dilakukan oleh orang sederhana seperti yang penulis sebutkan di atas.
Kedua, terlalu banyaknya partai dan calon anggota legislatif yang berkompetisi di pemilihan umum. Disini berlaku hukum, banyak pilihan malah semakin membingungkan. Sederhananya, lebih gampang mana seorang yang memiliki pilihan tiga dengan yang memiliki pilihan sepuluh? padahal waktu yang dilakukan untuk memilih adalah sama, dan hal yang dipilih pun tidak terlalu berakibat signifikan bagi jumlah utang atau beban hidup yang mereka tanggung sehari-hari.
Dalam hal ini, perlu juga diminta kesungguhan serta kesadaran para anggota dewan yang telah terpilih untuk lebih menyederhanakan jumlah partai yang bertarung. Mesti ada regulasi berdasarkan hati nurani bukan demi kepentingan elit politik yang bersifat temporer dan parsial saja, namun yang menguntungkan masyarakat agar mereka tidak terlalu bingung dengan jumlah partai dan caleg yang harus dipilih. Dasarnya adalah bahwa aturan tentang pemilihan umum (legislatif maupun presiden), setiap akan dilaksanakan pemilihan umum selalu disepakati undang-undang yang baru. Hal itu mencakup electoral threshold, syarat keikutsertaan pemilu, batas minimal pencalonan pasangan capres/cawapres, dan sebagainya. Kesan yang timbul dari itu adalah bahwa undang-undang pemilu itu dibuat, semata-mata hanya untuk melanggengkan kekuasaan elit politik dan partainya yang telah mapan dan berkuasa, dengan menciptakan aturan yang kompromistis, tidak konsisten serta ambigu pada setiap momennya. Agak kurang etis memang, apabila sebuah aturan seringkali diubah. Bila hal itu terjadi, tertib hukum, atau keteraturan apa yang bisa diharapkan?
Bila ada sanggahan bila pembatasan itu dianggap mecerabuti hak asasi yang telah dijamin dalam konstitusi, maka menjadi tugas para legislator dan Hakim Konstitusilah untuk membuat dan membuktikan bahwa hal itu tidak akan terjadi.
Ketiga, sebenarnya tugas anggota KPU bertambah ketika gugatan konstitusi tentang cara penentuan calon terpilih adalah berdasarkan suara terbanyak dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Hal ini, mungkin semakin menambah rumit kerja KPU yang sudah menumpuk, mengingat keputusan ini keluar hanya beberapa bulan menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Maka proses penghitungan suara pun semakin rumit dan agak merepotkan panitia pemungutan suara, dampak akhirnya ialah adanya keterlambatan penghitungan dan rekapitulasi suara. Mungkin lebih bijak bila keputusan tentang penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi, namun pelaksanaannya ditangguhkan untuk pemilu selanjutnya agar persiapan KPU lebih mantap, mengingat sudah dekatnya pelaksanaan pemilu pada waktu itu. Seperti pada perkara boleh atau tidaknya calon perseorangan (non-partai) bertarung dalam pemilihan presiden.
Keempat, masalah Daftar Pemilih Tetap. Yang memiliki proporsi kesalahan lebih besar sejatinya adalah petugas lapangan di daerah, dengan tingkat administratif paling kecil. Pendataan tentang calon pemilih, tidaklah dilakukan oleh KPU ataupun KPUD secara langsung, melainkan melalui petugas KPPS yang langsung terjun ke lapangan. Jadi kalau dirunut, pertanggungjawaban tentang kekisruhan DPT itu, proporsi terbesar ada pada petugas KPPS. Merekalah yang melakukan pendataan rumah ke rumah, kepala per kepala, dan hasilnya kemudin dilaporkan kepada KPUD yang akan diteruskan kepada KPU untuk dibuatkan DPT. Maka kisruh DPT sebenarnya adalah kesalahan pada tahap awal pendataan calon pemilih. Entah dengan melakukan pendataan asal-asalan, data fiktif maupun enggannya berkomunikasi dengan pihak-pihak lain yang terkait. Dan persoalan sederhana tentang kelalaian itu, menjadi kompleks, ketika terakumulasi secara nasional, dan dilakukan tak hanya oleh satu atau dua orang petugas pendata saja, tapi beribu-ribu pendata di seluruh Indonesia. Namun, alasan ketidakakuratan itu bisa saja dilemparkan kembali kepada KPU. Masalah keterbatasan anggaran operasional yang diberikan, bisa juga dijadikan alasan oleh para petugas pendataan. Bukankah kita selalu pandai mencari alasan?
Cirebon, 19 April 2009
Cag ah,
Kang Mpeb.
Comments
Post a Comment