Selamat (setelah) Memilih...!!

Kalau boleh diperbandingkan secara bebas dan sederhana, pemilihan umum bisa diibaratkan kawin kontrak. Dimana kita dihadapkan pada satu keadaan harus terikat dan tunduk pada seseorang yang sudah ditentukan, dan berada dalam perjanjian dengannya di kurun waktu tertentu.

Bahasa populer yang sering dikaitkan dengan pemilihan umum pun adalah pesta demokrasi. Ya, sebuah pesta yang merupakan permulaan dari suatu komitmen bersama demi suatu tujuan .
Seperti layaknya pesta, setiap pihak yang terlibat di dalamnya bertindak secara sukarela, tanpa paksaan dan penuh kegembiraan. Para pihak itu menyadari dengan sepenuh hati, bahwa ini adalah perayaan dari awal suatu komitmen yang membutuhkan kesungguhan memberi kepercayaan dan menerima, serta melaksanakan kepercayaan tersebut.

Pesta, seperti pesta-pesta lain pada umumnya adalah tak lebih dari sebuah ungkapan kegembiraan dan awal dari sebuah perjuangan menuju tujuan bersama yang satu. Tak ada pesta yang tidak akan berakhir, begitu kurang lebih. Karena pada hakikatnya, esensi pokok adalah bukan pada pesta itu sendiri, melainkan pada hari-hari, pekan-pekan, bulan-bulan, dan tahun-tahun setelah perayaan pesta tersebut.
Bisa diambilkan contoh, pesta pernikahan tidak bisa mencerminkan apa yang akan dilalui pasangan hari-hari setelahnya, bisa jadi langgeng dan berbahagia, bisa pula tercerai berai dan hanya menghasilkan derita.

Pun halnya dengan pesta bernama pemilihan umum. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dan dilakukan oleh para wakil rakyat kita kelak. Akankah mereka amanah, atau justru malah khianat. Melupakan rakyat, melupakan komitmen bersama, meninggalkan pil pahit setelah pesta.
Dalam perkawinan, umumnya kita tidak pernah tahu secara pasti karakter pasangan kita dengan utuh. Yang ada ialah penonjolan sisi baik dari dirinya, atau mungkin juga itu adalah keinginan kita sendiri, yang hanya bisa melihat karakter sesuai dengan keinginan kita. Namun -menurut yang sudah berpengalaman- karakter sebenarnya hanya bisa dilihat setelah terjadinya perkawinan. Maka itu, muncullah pemeo "sebelum menikah, bukalah mata lebar-lebar. setelah itu, cukup setengahnya saja".

Rangkaian kampanye, betapa menunjukkan impian dan kebaikan-kebaikan para calon legislator kita. Janji-janji, program-program, dan bantuan-bantuan, sangat manis dan melenakan. Tak jarang fanatisme yang muncul, membutakan kita dari obyektivitas. Membuat kita sejenak lupa bagaimana cara berpikir jernih. Namun setelah terpilih, bisa kita perhatikan sendiri bagaimana komitmen bersama itu secara perlahan digerogoti dan diabaikan.

Pemilihan umum di zaman orde baru bisa diibaratkan kepada perkawinan dengan orang yang sama sekali tidak kita kenal. Kita berada pada posisi tanpa pilihan. Mau kawin, atau subversif. Calon mempelai sudah ditentukan, kita sama sekali tidak mengenal apalagi berbincang hangat dengannya, namun harus mau melewatkan hidup selama 5 tahun di dalam perwalian dan supervisinya. Setelah pemilu zaman itu usai, di era reformasi ada sedikit perbaikan. Calonnya kita tahu, meskipun tidak begitu akrab atau mengenalnya dekat. Entah itu lebih baik atau tidak.]

Dalam contoh kasus pernikahan, banyak terjadi hal buruk. Namun tak sedikit pula yang menuai bahagia sepanjang usia. Dalam kategori pertama, bisa dimasukkan kegemaran "kawin cerai" para artis kita, dengan berbagai alasan tentunya. Dunia politik pun tak jauh berbeda. Ada yang hanya bermodalkan tampang, bermodal biaya, bermodal iseng, bermodal aji mumpung ataupun bermodal darah. Bila modal yang dimiliki terbatas, dapat diprediksi hasil kerjanya kelak pun tidak akan pernah maksimal, asal-asalan, tidak langgeng dan oportunistik. Seperti halnya perkawinan yang didasarkan pada kepentingan sesaat, nafsu, kekayaan, numpang tenar dsb, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk mendaftar di panitera pengadilan agama. Tak lebih mirip dengan para legislator yang tinggal menunggu waktu dicokok KPK atau Polisi.

Yang pasti, ini tak lebih dari sebuah pesta. Substansi utama adalah apa yang terjadi setelahnya. Dan malangnya, setelah pesta usai tak ada yang bisa kita lakukan, kecuali menerima apapun yang dilakukan para wakil kita. Sehingga tentunya, kesadaran serta hati nurani yang jernih saat akan memilihlah yang bisa mencegah pengkhianatan itu terjadi setelah ini. Pastikan yang kita pilih adalah terpercaya, mampu dan konsekuen, setidaknya dalam waktu 5 tahun yang akan datang.

Pilihan pun -menurut penulis- hanya ada 2 golongan besar, nasionalis dan Islam. Tinggal itu pilihan kita, bagaimana kita menempatkan diri dan apa kepentingan yang akan kita perjuangkan. Tak lebih tak kurang, kita seorang nasionalis atau Islam. Anda yang tentukan. Selamat memilih, atau-mungkin tepatnya-selamat setelah memilih. Karena tentunya anda sekarang telah memilih.



Cag ah,


Kang mpeb

Comments

  1. Anonymous5:25 PM

    kang mpeb salam kenal, artikelnya bagus. sekarang kerja d mana kang?



    kanta (panjalin lor-sumberjaya)
    copubdekdok@yahoo.com

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang