Pendidikan vs pengajaran

Pasal 31 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Hal ini menegaskan bahwa keduukan pengajaran (dan pendidikan) sangat strategis dan memiliki posisi penting dalam konstitusi kita. Sebelumnya, dalam pembukaan UUD 1945 pun disebutkan bahwa salah satu tujuan bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga bukan tanpa alasan pengajaran (dan pendidikan) dimuat secara khsusus sebagai salah satu hak-hak pokok warga negara Indonesia.

Selepas 4 kali amandemen yang berakhir pada tahun 2002, hak-hak terkait pendidikan dan pengajaran tersebut lalu diperluas dan dijabarkan lebih rinci menjadi beberapa pasal. Sudah tentu pemikiran dasarnya adalah untuk lebih memantapkan dan mematangkan konsep pendidikan dan pengajaran agar menjadi lebih baik. Smanat konstitusi pun mengharuskan bahwa 20 % dari APBN adalah dialokasikan untuk pendidikan. Meski baru terlaksana pada tahun 2009, setidaknya itu adalah siyalemen positif dan iktikad baik dari pemerintah dalam meningkatkan perhatian pada dunia pendidikan dan pengajaran, demi promosi serta akselerasi kualitas pendidikan di Indonesia.

Akan halnya keberadaan dua istilah "pendidikan" dan "pengajaran", hanya merupakan 2 buah teks yang berbeda dengan konteks yang serupa atau mirip. Pendidikan merupakan bentukan dari kata dasar "didik". bila diartikan secara istilah, pendidikan merupakan proses untuk mendidik; Berkaitan erat dengan menempaakan "subyek" pendidikan pada suat keadaan "benar", dibanding yang "salah"; "tepat" dibanding yang "keliru"; atau "baik" dibanding yang "buruk". Intinya, sitilah pendidikan itu lebih cenderung ke arah pembentukan moral dan kesusilaan. sehingga orang yang telah mengenyam pendidikan, diharapkan menjadi orang yang berkepribadian baik, berlaku tepat, dan bertindak benar. meski agaknya istilah pendidikan di indonesia identik dengan masalah nilai ujian, ijazah dan tingkatan di mana orang-orang sekolah.

Pengajaran sementara itu, dipahami sebagai proses mengubah, menambah dan merevisi kemampuan seseorang. dari "tidak bisa" menjadi "bisa", dari "tidak mengerti" menjadi "mengerti", dan dari "tidak paham" menajdi "paham". Dan yang paling utam adalah dari "tidak tahu" menjadi "tahu". sekilas mungkin agak sulit dibedakan antara "pendidikan" dan "pengajaran", karena lingkup dan subyek yang meliputinya serupa.
namun bila ditelaah, ada sedikit perbedaan antara keduanya. yaitu dari segi proses transformasi dan aplikasinya.

Pendidikan berasal dari nilai-nilai luhur masyarakat, transformasinya merupakan penanaman kepada benak orang-orang tentang moral, norma dan nilai-nilai luhur yang telah ada dan tumbuh di masyarakat. Sifatnya stagnan dan cenderung tetap, kendati melewati beberapa generasi. apa yang dianggap baik dan benar pada suatu generasi, akan tetap dianggap baik pada generas-generasi selanjutnya. Penerapan pendidikan pun dapat dirasakan secara langsung dalam kehidupan bermasyarakat. interaksi sosial dapat dianggap sebagai penilaian akhir seseorang dianggap "terdidik" atau tidak. Bila ia mampu membaur, berperilaku santun dan "lurus" serta sesuai dengan moral, norma dan nilai-nilai luhur masyarakat, maka dianggaplah ia "berpendidikan". Sebaliknya bila "mbeling", "ngisruh" dan kerap menimbulkan berbagai ketidaknyamanan di dalam masyarakat, maka cap "tidak berpendidikan"lah yang disematnya. Sehingga menurut pemulis, agak kurang tepat bila si pembuat kisruh disebut " kurang ajar", harusnya "kurang didik". meskipun kit abelum pernah mendengar orang tua mengumpat "dasar anak kurang didik!!"

Dibandingkan dengan pendidikan, pengajaran diperoleh dari suatu hal yang telah dipelajari sebelumnya. transformasinya kerap bermula dari "tidak tahu - tahu - paham -inovasi/kreasi". Yang membedakan pengajaran dan pendidikan adalah sifatnya yang dinamis, senantiasa ada hal baru yang dipelajarai dalam pengajaran. sebab dari tahap "paham", biasanya muncul "inovasi/kreasi". inilah yang menjadi pembeda antara keduanya.
dalam pengajaran, hal "baik" atau "benar" di dalam suatu generasi, bisa direvisi menjadi "lebih baik" atau "lebih benar" dalam generasi selankutnya. penerapannya dalam masyarakat pun sangat relatif, bisa dipakai, bisa juga tidak. Contoh gampang, bayangkan saja kondisi seorang sarjana pertanian modern, yang tinggal di tengah-tengah masyarakat petani yang sangat tradisional.

Indonesia lebih memilih nama "pendidikan" daripada "pengajaran" dalam mewakili institusi yang membawahi proses pengilmiahan, pemodernan dan peningkatan kualitas sumber daya masyarakat. Padahal dari mulai tingkat dasar sampai tinggi, subyeknya "belajar", bukan "berdidik" dan disebut "pelajar" bukan "perdidik". kemudian tugas utama orang yang mentransfer kemampuan serta pengetahuan juga disebut "pengajar", meskipun sekarang sering muncul istilah "pendidik". Yang jelas, bila ada pertanyaan tentang dimana seorang guru/dosen bekerja, maka pertanyaan yang muncul adalah "mengajar dimana?", bukan "mendidik dimana?"

Agaknya itu pulalah yang menjadi masalah di duni apendidikan/pengajaran Indonesia. meskipun pemerintah sudah menamakan institusinya sebagai "pendidikan", namun pada kenyataannya proporsi "pengajaran" lebih besar dibandingkan "pendidikan". Maka tak heran bila banyak muncul kejadian, seorang yang pintar tapi kemudian terjerumus narkoba, murid yang nilainya bagus-bagus tapi tak bermoral, orang yang secara akademis sangat baik nilainya tapi setelah dewasa menjadi koruptor. Hal-hal inilah yang menunjukkan kejomplangan dunia pendidikan kita. Silakan cek, berapa jam pelajarankah, bidang "moral" atau "agama" diajarkan dari tingkat SD s/d SMU. atau berapa sks kah mata kuliah "akhlak" atau "budi pekerti " yang tercantum dalam transkrip nilai.

Maka tak heran bila aib di lingkup akademis, sering bermunculan, karena para pelaku kegiatan akademis (siswa, mahasiswa, guru, dosen) lebih sering mengajar, atau diajar daripada mendidik atau dididik. jagan heran pula, bila pada akhirnya tak hanya "diajar", kerap pula para siswa "dihajar". Kasus perkelahian antar pelajar (dalam sekolah, maupun antar sekolah), bahkan pemukulan dan penganiayaan guru terhadap murid ataupun sebaliknya, menunjukkan kelamahan ini.

Pendidikan dan pengajaran, hendaknya dijadikan suatu pemahaman yang integral sebagai suatu institusi peningkat dan pengubah kualitas sumber daya manusia agar menjadi lebih baik. tak hanya terkait dengan apa yang diketahui, dikuasai atau mampu dilakukannya, tapi juga terhadap apa yang harus dipahami sebagai norma, dipatuhi sebagai nilai-nilai luhur, dan sikap moral yang kerkesesuaian dengan karakter masyarakat Indonesia. sehingga terbentuklah manusia-manusia modern yang berwawasan luas dan berdaya saing tinggi, juga bermoral dan berkarakter luhur.

Mungkin tak pernah begitu jelas, apa itu "ajar", apa itu "didik" singkat cerita, "ajar" itu adalah proses menuju bisa, sedangkan "didik"......? adalah guru matematika penulis waktu SMA.

Majalengka, 25 Maret 2008

Cag ah,

Comments

  1. wilujeng enjing... artikel yang menarik kang

    saya pikir dikotomi ajar dan didik memang sangat "polemicable". secara singkat saya sendiri lebih setuju dengan statement berikut:

    pendidikan adalah sebagian besar tugas keluarga, sedangkan pengajaran adalah sebagian besar tugas sekolah. ini tidak bicara prosentase, tapi natur dari keluarga adalah mendidik anaknya, dan tugas sekolah secara umum adalah memberikan pengajaran...

    You're welcome to visit my new blog (just click the link) http://catatan-guru.blogspot.com Please enjoy...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang