Banjir.. jir.. jir
Banjir menjadi headline di berbagai media minggu-minggu terakhir ini. Betapa tidak, ibukota tercinta yang selama ini dikenal angkuh, akhirnya terkalahkan sebuah zat yang bergerombol membentuk bencana bernama Banjir. Tak kurang orang-orang ikut memberikan bantuan kepada para korban banjir tersebut, meskipun (maaf) saya tidak ikut-ikutan berpusing ria dengan hal tersebut.
Sebenarnya banjir merupakan hal yang wajar dan sudah dapat diperkirakan akan terjadi di Jakarta. Dengan populasi mendekati 12 juta jiwa, tak heran wilayah yang relatif kecil tersebut disesaki orang-orang daerah yang mengadu nasib disana, harus berebut lahan dengan air dan daerah resapan air. Bukan itu saja, selain orang-orang yang nekat menempati “rumahnya air” seperti kali Ciliwung, orang-orang berduit pun tak mau kalah, dengan menyulap wilayah-wilayah resapan air menjadi kawasan pemukiman elit atau kompleks bisnis yang menggiurkan, tapi tak ramah lingkungan. Maka tak perlu heran ketika air berontak dan meminta “tempatnya” dikembalikan, manusia yang menempatinya keteteran juga. Jadilah banjir yng besar seperti ini.
Data WALHI menyatakan daerah resapan air yang tersisa hanya 9 %, padahal idealnya daerahresapan tersebut sekurang-kurangnya adalah 40% dari seluruh wilayah DKI Jakarta. Apalagi telah diketahui bahwa banyak sungai yang mengalir melewati Jakarta untuk sampai ke laut, baik itu dari arah Bogor maupun Depok dan daerah lain sekitarnya. Sehingga mau tak mau sebenarnya antisipasi banjir dapat dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya.
Dalam sebuah dialog di stasiun televisi swasta, pemimpin Jakarta Sutiyoso ketika didesak tentang penanganan banjir tersebut malah mengelak dan menolak disalahkan. Menurutnya –yang diulang-ulang- banjir adalah rumus alam yang memang biasa dan “layak” terjadi di Jakarta, mengingat Jakarta memang dilewati banyak sungai yang menuju laut. Sutiyoso dengan panas membantah bahwa dia –dan jajarannya- tidak melakukan apa-apa untuk menangani banjri tersebut. Dengan gaya dosen kepada mahasiswa, dia menjelaskan proyek banjir kanal yang sedang dibangun untuk mengurangi efek banjir, dengan mengabaikan pertanyaan penting dari sang pembawa acara tentang kebijakan RTRW yang dibuatnya.
Agaknya mantan atasan Presiden kita dulu semasa aktif itu merasa dipojokkan, karena pada bulan November 2006 pernah mengeluarkan pernyataan bahwa tahun 2007 tidak akan terjadi banjir besar seperti halnya tahun 2002. dan seperti tak mau menelan ludahnya kembali, Sutiyosi menetralkan pernyataan dengan menyebutkan sumber pernyataan tersebut adalah dari BMG.
Terlepas dari itu semua, agaknya ada yang dan sepertinya sengaja dihindari Sutiyoso ketika menjawab antisipasi dan penanganan banjir tesebut. Masalah tata kota merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan daerah resapan air yang di kemudian hari, terkait pada masalah banjir. Sebagai orang awam, saya melihat Jakarta benar-benar kebablasan memahami konteks pembangunan. Banyak sekali ijin yang diberikan kepada investor dalam dan luar negeri untuk membangun gedung-gedung hunian maupun bisnis di daerah yang mestinya dijadikan daerah resapan air. Kebijakan tersebut pada awalnya memang menguntungkan, karena perijinan berarti pemasukan buat PAD Jakarta, dan Sutiyoso agaknya sadar benar akan hal itu.
Cukup memalukan rasanya Ibukota negara terbenam air selama kurang lebih seminggu. Padahal pusat perekonomian, pusat kegiatan penyelenggaraan negara ada di sana. Dan lumpuh hanya akibat banjir.
Pembangunan yang out of control itu semestinya disadari benar oleh pemerintah DKI Jakarta, karena tak hanya berdampak pada urusan daerah di DKI Jakarta saja, tetapi urusan kenegaraan RI secara keseluruhan. Bagaimana jadinya jika dokumen-dokuem negara yang penting terendam banjir? Selain merugikan, juga sangat memalukan bukan?.
Dalih pemerintah DKI tidak bisa menangani sendiri masalah banjir di daerahnya agaknya kurang masuk akal juga. Kita ketahui bahwa 80% peredaran uang di Indonesia, ada di Jakarta. Dengan PAD dari berbagai sumber baik pajak maupun pendapatan lainnya, agak kurang dapat dipercaya bila aliran uang untuk antisipasi dan penangang banjir kurang. Kecuali apabila pengalokasiannya memang ditentukan untuk ”kurang”. Kita ketahui Jakarta baru-baru ini disibukkan dengan ”revitalisasi” busway yang membutuhkan uang banyak, apalagi bila uang yang diperuntukan tersebut malah dikorupsi. Repot khan? Ada lagi persiapan Persija menghadapi perhelatan Liga Indonesia 10 Februari mendatang. Sebagai tim ibu kota yang bertabur bintang dan bertabur dana tentunya Sutiyoso tak mau klub kesayanganya tersebut kembali gagal meraih tempat terhormat seperti yang sudah-sudah. Sehingga mengucurkan dana dari APBD sebesar-besarnya untuk kemajuan Persija. Dan jika APBD habis untuk proyek busway dan membeli pemain serta menggaji pemain Persija, dimanakah alokasi untuk antisipasi dan penanganan banjir? Kalaupun ada, berapa banyak?
Saya hanya mengkhawatirkan kelangsungan penyelenggaraan negara di Jakarta sana. Seandainya ibukota bukan di Jakarta, (maaf) mungkin tidak akan terlalu intens terhadap hal ini.
Sebenarnya banjir merupakan hal yang wajar dan sudah dapat diperkirakan akan terjadi di Jakarta. Dengan populasi mendekati 12 juta jiwa, tak heran wilayah yang relatif kecil tersebut disesaki orang-orang daerah yang mengadu nasib disana, harus berebut lahan dengan air dan daerah resapan air. Bukan itu saja, selain orang-orang yang nekat menempati “rumahnya air” seperti kali Ciliwung, orang-orang berduit pun tak mau kalah, dengan menyulap wilayah-wilayah resapan air menjadi kawasan pemukiman elit atau kompleks bisnis yang menggiurkan, tapi tak ramah lingkungan. Maka tak perlu heran ketika air berontak dan meminta “tempatnya” dikembalikan, manusia yang menempatinya keteteran juga. Jadilah banjir yng besar seperti ini.
Data WALHI menyatakan daerah resapan air yang tersisa hanya 9 %, padahal idealnya daerahresapan tersebut sekurang-kurangnya adalah 40% dari seluruh wilayah DKI Jakarta. Apalagi telah diketahui bahwa banyak sungai yang mengalir melewati Jakarta untuk sampai ke laut, baik itu dari arah Bogor maupun Depok dan daerah lain sekitarnya. Sehingga mau tak mau sebenarnya antisipasi banjir dapat dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya.
Dalam sebuah dialog di stasiun televisi swasta, pemimpin Jakarta Sutiyoso ketika didesak tentang penanganan banjir tersebut malah mengelak dan menolak disalahkan. Menurutnya –yang diulang-ulang- banjir adalah rumus alam yang memang biasa dan “layak” terjadi di Jakarta, mengingat Jakarta memang dilewati banyak sungai yang menuju laut. Sutiyoso dengan panas membantah bahwa dia –dan jajarannya- tidak melakukan apa-apa untuk menangani banjri tersebut. Dengan gaya dosen kepada mahasiswa, dia menjelaskan proyek banjir kanal yang sedang dibangun untuk mengurangi efek banjir, dengan mengabaikan pertanyaan penting dari sang pembawa acara tentang kebijakan RTRW yang dibuatnya.
Agaknya mantan atasan Presiden kita dulu semasa aktif itu merasa dipojokkan, karena pada bulan November 2006 pernah mengeluarkan pernyataan bahwa tahun 2007 tidak akan terjadi banjir besar seperti halnya tahun 2002. dan seperti tak mau menelan ludahnya kembali, Sutiyosi menetralkan pernyataan dengan menyebutkan sumber pernyataan tersebut adalah dari BMG.
Terlepas dari itu semua, agaknya ada yang dan sepertinya sengaja dihindari Sutiyoso ketika menjawab antisipasi dan penanganan banjir tesebut. Masalah tata kota merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan daerah resapan air yang di kemudian hari, terkait pada masalah banjir. Sebagai orang awam, saya melihat Jakarta benar-benar kebablasan memahami konteks pembangunan. Banyak sekali ijin yang diberikan kepada investor dalam dan luar negeri untuk membangun gedung-gedung hunian maupun bisnis di daerah yang mestinya dijadikan daerah resapan air. Kebijakan tersebut pada awalnya memang menguntungkan, karena perijinan berarti pemasukan buat PAD Jakarta, dan Sutiyoso agaknya sadar benar akan hal itu.
Cukup memalukan rasanya Ibukota negara terbenam air selama kurang lebih seminggu. Padahal pusat perekonomian, pusat kegiatan penyelenggaraan negara ada di sana. Dan lumpuh hanya akibat banjir.
Pembangunan yang out of control itu semestinya disadari benar oleh pemerintah DKI Jakarta, karena tak hanya berdampak pada urusan daerah di DKI Jakarta saja, tetapi urusan kenegaraan RI secara keseluruhan. Bagaimana jadinya jika dokumen-dokuem negara yang penting terendam banjir? Selain merugikan, juga sangat memalukan bukan?.
Dalih pemerintah DKI tidak bisa menangani sendiri masalah banjir di daerahnya agaknya kurang masuk akal juga. Kita ketahui bahwa 80% peredaran uang di Indonesia, ada di Jakarta. Dengan PAD dari berbagai sumber baik pajak maupun pendapatan lainnya, agak kurang dapat dipercaya bila aliran uang untuk antisipasi dan penangang banjir kurang. Kecuali apabila pengalokasiannya memang ditentukan untuk ”kurang”. Kita ketahui Jakarta baru-baru ini disibukkan dengan ”revitalisasi” busway yang membutuhkan uang banyak, apalagi bila uang yang diperuntukan tersebut malah dikorupsi. Repot khan? Ada lagi persiapan Persija menghadapi perhelatan Liga Indonesia 10 Februari mendatang. Sebagai tim ibu kota yang bertabur bintang dan bertabur dana tentunya Sutiyoso tak mau klub kesayanganya tersebut kembali gagal meraih tempat terhormat seperti yang sudah-sudah. Sehingga mengucurkan dana dari APBD sebesar-besarnya untuk kemajuan Persija. Dan jika APBD habis untuk proyek busway dan membeli pemain serta menggaji pemain Persija, dimanakah alokasi untuk antisipasi dan penanganan banjir? Kalaupun ada, berapa banyak?
Saya hanya mengkhawatirkan kelangsungan penyelenggaraan negara di Jakarta sana. Seandainya ibukota bukan di Jakarta, (maaf) mungkin tidak akan terlalu intens terhadap hal ini.
Comments
Post a Comment