Andi vs Hariman
Ternyata ada yang lebih menarik daripada pertandingan sepakbola AFF CUP, Senin (15/1) kemarin. Pertandingan mendebarkan yang berakhir seri itu mendapat pesaing kuat, karena pada saat yang hampir bersamaan berlangsung “pertandingan” yang tak kalah panas. Andi Mallarangeng, eks pengamat politik yang kemudian menjadi tokoh Partai PDK, dan belakangan menjadi juru bicara Sang Jenderal di Istana, versus Hariman Siregar, seorang tokoh Malari yang namanya mencuat akhir-akhir ini. “Pertandingan” antara Andi Mallarangeng vs Hariman Siregar itu, tak kalah seru dengsn kengototan yang dimiliki anak asuh Peter Withe melawan timnas Vietnam. Saya cukup intens mengikuti adanya kompetisi diantara dua orang yang berada pada pihak yang berlawanan tersebut. Mulai ketika tindakan Hariman Siregar, Try Sutrisno serta beberapa tokoh nasional yang mendatangi DPR untuk membicarakan kinerja pemerintahan Sang Jenderal di mata mereka, sampai pada satu titik kesimpulan yang ditanggapi sangat reaktif oleh pihak pemerintah: mencabut mandat Presiden. Kemudian berlanjut pada keterangan yang –menurut saya- sangat emosional dari Andi Mallarangeng, bahwa pihak yang mengeluarkan pernyataan cabut mandat tersebut (baca: Hariman dkk), sebaiknya menunggu Pemilu tahun 2009 bila memiliki ambisi untuk menjadi Presiden. Sebuah pernyatan yang menurut saya cukup emosional bagi sosok pakar politik sekelas Andi. Saya melihat terjadi pergeseran nilai dan idealisme dari diri Andi, dimana –sadar atau tidak- sekarang lebih terikat dan terpengaruhi oleh kedudukannya sebagai juru bicara Presiden. Unsur objektivitas pernyataan dan keterangannya jauh berkurang dibandingkan ketika dia menjadi pengamat politik di luar sistem (baca: bukan orang pemerintah). Andi cenderung melihat tiap persoalan, kemudian memberikan pernyataan dari satu sisi saja, yaitu pihak pemerintah. Melupakan predikat utamanya sebagai rakyat Indonesia.
Ukuran kepuasan tiap orang berbeda-beda. Itu yang kemudian menjadi pangkal permasalahan dan konflik antara Hariman Siregar di satu pihak dan Andi Mallarangeng di pihak lain. Entah karena memang kedua orang ini benar-benar ingin membela sebuah “nilai-nilai ideal” yang ada. Atau hanya ingin menghangatkan situasi bangsa Indonesia, serta mengalihkan perhatian publik/rakyat (juga politikus-politikus) dari berbagai masalah dan bencana yang terjadi di Indonesia yang sampai saat ini belum terselesaikan. Sesuai dengan pameo latin kuno bahwa, de omnibus dubitandum. Segala sesuatu itu harus diragukan. Jadi bila Andi Mallarangeng meragukan orisinalitas pemikiran dari Hariman Siregar dkk, yang menuntut cabut mandat demi kepentingan rakyat, atau Hariman Siregar yang meragukan kesungguhan pemerintahan Sang Jenderal memecahkan berbagai persoalan bangsa, kita pun sebaiknya meragukan tindakan keduanya, apakah benar-benar mencerminkan kehendak untuk memperbaiki bangsa dan benar benar mewakili kepentingan bangsa, ataukah keduanya hanya ngotot-ngototan untuk meraih simpati masyarakat saja.
Bila dicermati, sebenarnya pada konflik antara Andi dan Hariman tersebut lebih condong pada konflik individu antara keduanya. Benih-benih konflik tersebut dapat terlihat dari pernyataan Andi Mallarangeng yang “tak rela” dengan tindakan Hariman Siregar cs ketika menemui pimpinan DPR beberapa waktu lalu. Andi menuding tindakan tersebut inkonstitusional, bahakan menambahkan bila pihak tersebut – tanpa menyebutkan secara eksplisit- ingin menjadi Presiden, harusnya menunggu Pemilu yang akan datang. Tak kurang Muladi pun menyatakan hal yang sama. Percik konflik tersebut ditanggapi pula oleh Hariman Siregar dkk. Yang paling terkini, 15 Januari yang sekaligus memperingati Malari, digunakan untuk kembali mengangkat isu cabut mandat. Lalu salah satu stasiun TV swasta mempertemukan kedua pihak yang bertikai itu dalam sebuah program berita sore. Dan perdebatan untuk menemukan “kebenaran” pun terjadi di depan kamera. Dengan disaksikan oleh – mungkin- sebagian besar rakyat Indonesia, kedua tokoh tersebut saling mendebat dan berebut berbicara, sampai-sampai sang pembawa acara berita tersebut tak mampu mengawal berlangsungnya dialog tersebut. Malam harinya, kedua tokoh tersebut kembali dipertemukan, tetapi oleh TV swasta lain. Namun terjadi hal yang sama. Keduanya tetap mempertahankan keyakinan atas nilai “benar dan salah” menurut mereka. Tetapi ada tambahan lain, yaitu Andi menyatakan pihak Presiden telah melakukan hal-hal yang benar dan sesuai program, telah bekerja; yang secara tidak langsung, menuding Hariman Siregar dkk hanya berbicara, tidak bekerja secara nyata. Yang mana yang benar, kita tetap harus meragukan keduanya, kita hanya harus memberikan pertimbangan-pertimbangan atas penilaian yang kita berikan.
Terlepas dari benar tidaknya lontaran cabut mandat, yang pada akhirnya berkaitan dengan impeachment yang memang dimungkinkan dalam UUD 1945 pasca amandemen, kita harus jujur bahwa memang banyak sekali persoalan yang muncul serta belum terpecahkan oleh pemerintahan sekarang. Tidak tuntasnya persoalan –persoalan tersebut, ditambahi dengan banyaknya masalah baru (baik yang alami seperti bencana, ataupun karena faktor manusia), semakin memperburuk reputasi pemerintah - meskipun menurut survey, popularitas Sang Jenderal masih tinggi- di mata masyarakat. Ketidakpuasan ini lebih disebabkan karena pemerintah tidak responsif, tidak profesional dan cenderung menyepelekan penanganan dan penyelesaian suatu masalah. Isu-isu hangat yang mempengaruhi masyarakat secara luas seperti kenaikan harga BBM, impor beras, kenaikan gaji anggota DPR/D, sering ditinggalkan, dipelintir dan kemudian dialihkan dengan isu-isu baru yang sepele sehingga secara lambat laun masyarakat melupakan isu lama tersebut dan tergiring untuk lebih reaktif pada isu baru yang sebenarnya tidak terlalu penting dan hanya dibuat-buat saja. Perihal Poligami misalnya.
Posisi yang saling berlawanan antara pemerintah yang berkuasa dengan pihak oposisi, bila mau dikatakan secara kasar memang baru dikenal di Indonesia. Setelah lebih dari 32 tahun hidup didominasi oleh Orde Baru dalam bidang ideologi maupun haluan politik, nampaknya kita masih belum memahami posisi dan fungsi masing-masing. Dapat dilihat dari pernyataan Andi yang menekankan bahwa Hariman dkk. yang dianggapnya pihak oposisi hanya bisa berbicara, tanpa berkarya. Perlu dipahami bahwa pihak oposisi merupakan kelompok di luar pemerintah yang berfungsi mengkritisi berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Hal tersebut ditujukan untuk mewujudkan mekanisme checks and balances terhadap berbagai keputusan politik yang diambil pemerintah, selain tentunya prinsip checks and balances diantara lembaga negara maupun institusi pemerintah itu sendiri. Adalah salah bila oposisi dituding dan dipojokkan oleh pemerintah dengan alasan mereka tidak bekerja, hanya berbicara. Justru di sanalah letak fungsi dari oposisi, karena bila ingin bekerja atau berkarya dengan implikasi menyeluruh, mereka harus berposisi sebagai penguasa, bukan oposisi. Oposisi merupakan penyeimbang dan pengontrol dari berbagai kebijakan. Bila ada kebijakan yang dirasa melenceng atau tidak sesuai dengan program yang dicanangkan, pihak oposisilah yang bertindak, tentunya hanya dengan mengeluarkan opini publik.
Akhirnya sampai pada satu kesimpulan, bahwa masing-masing pihak haruslah bersikap objektif dan realistis terhadap apa yang sedang terjadi di masyarakat. Jangan hanya membela kepentingan masing-masing dengan mengatakan pihaknya sudah melakukan hal yang benar, lalu menuding pihak lain melakukan hal yang salah. Sehingga bila kedua pihak tersebut hanya berbicara berdasarkan kepentingan mereka masing-masing, kapan mereka memikirkan yang terbaik bagi rakyat Indonesia?.
Ukuran kepuasan tiap orang berbeda-beda. Itu yang kemudian menjadi pangkal permasalahan dan konflik antara Hariman Siregar di satu pihak dan Andi Mallarangeng di pihak lain. Entah karena memang kedua orang ini benar-benar ingin membela sebuah “nilai-nilai ideal” yang ada. Atau hanya ingin menghangatkan situasi bangsa Indonesia, serta mengalihkan perhatian publik/rakyat (juga politikus-politikus) dari berbagai masalah dan bencana yang terjadi di Indonesia yang sampai saat ini belum terselesaikan. Sesuai dengan pameo latin kuno bahwa, de omnibus dubitandum. Segala sesuatu itu harus diragukan. Jadi bila Andi Mallarangeng meragukan orisinalitas pemikiran dari Hariman Siregar dkk, yang menuntut cabut mandat demi kepentingan rakyat, atau Hariman Siregar yang meragukan kesungguhan pemerintahan Sang Jenderal memecahkan berbagai persoalan bangsa, kita pun sebaiknya meragukan tindakan keduanya, apakah benar-benar mencerminkan kehendak untuk memperbaiki bangsa dan benar benar mewakili kepentingan bangsa, ataukah keduanya hanya ngotot-ngototan untuk meraih simpati masyarakat saja.
Bila dicermati, sebenarnya pada konflik antara Andi dan Hariman tersebut lebih condong pada konflik individu antara keduanya. Benih-benih konflik tersebut dapat terlihat dari pernyataan Andi Mallarangeng yang “tak rela” dengan tindakan Hariman Siregar cs ketika menemui pimpinan DPR beberapa waktu lalu. Andi menuding tindakan tersebut inkonstitusional, bahakan menambahkan bila pihak tersebut – tanpa menyebutkan secara eksplisit- ingin menjadi Presiden, harusnya menunggu Pemilu yang akan datang. Tak kurang Muladi pun menyatakan hal yang sama. Percik konflik tersebut ditanggapi pula oleh Hariman Siregar dkk. Yang paling terkini, 15 Januari yang sekaligus memperingati Malari, digunakan untuk kembali mengangkat isu cabut mandat. Lalu salah satu stasiun TV swasta mempertemukan kedua pihak yang bertikai itu dalam sebuah program berita sore. Dan perdebatan untuk menemukan “kebenaran” pun terjadi di depan kamera. Dengan disaksikan oleh – mungkin- sebagian besar rakyat Indonesia, kedua tokoh tersebut saling mendebat dan berebut berbicara, sampai-sampai sang pembawa acara berita tersebut tak mampu mengawal berlangsungnya dialog tersebut. Malam harinya, kedua tokoh tersebut kembali dipertemukan, tetapi oleh TV swasta lain. Namun terjadi hal yang sama. Keduanya tetap mempertahankan keyakinan atas nilai “benar dan salah” menurut mereka. Tetapi ada tambahan lain, yaitu Andi menyatakan pihak Presiden telah melakukan hal-hal yang benar dan sesuai program, telah bekerja; yang secara tidak langsung, menuding Hariman Siregar dkk hanya berbicara, tidak bekerja secara nyata. Yang mana yang benar, kita tetap harus meragukan keduanya, kita hanya harus memberikan pertimbangan-pertimbangan atas penilaian yang kita berikan.
Terlepas dari benar tidaknya lontaran cabut mandat, yang pada akhirnya berkaitan dengan impeachment yang memang dimungkinkan dalam UUD 1945 pasca amandemen, kita harus jujur bahwa memang banyak sekali persoalan yang muncul serta belum terpecahkan oleh pemerintahan sekarang. Tidak tuntasnya persoalan –persoalan tersebut, ditambahi dengan banyaknya masalah baru (baik yang alami seperti bencana, ataupun karena faktor manusia), semakin memperburuk reputasi pemerintah - meskipun menurut survey, popularitas Sang Jenderal masih tinggi- di mata masyarakat. Ketidakpuasan ini lebih disebabkan karena pemerintah tidak responsif, tidak profesional dan cenderung menyepelekan penanganan dan penyelesaian suatu masalah. Isu-isu hangat yang mempengaruhi masyarakat secara luas seperti kenaikan harga BBM, impor beras, kenaikan gaji anggota DPR/D, sering ditinggalkan, dipelintir dan kemudian dialihkan dengan isu-isu baru yang sepele sehingga secara lambat laun masyarakat melupakan isu lama tersebut dan tergiring untuk lebih reaktif pada isu baru yang sebenarnya tidak terlalu penting dan hanya dibuat-buat saja. Perihal Poligami misalnya.
Posisi yang saling berlawanan antara pemerintah yang berkuasa dengan pihak oposisi, bila mau dikatakan secara kasar memang baru dikenal di Indonesia. Setelah lebih dari 32 tahun hidup didominasi oleh Orde Baru dalam bidang ideologi maupun haluan politik, nampaknya kita masih belum memahami posisi dan fungsi masing-masing. Dapat dilihat dari pernyataan Andi yang menekankan bahwa Hariman dkk. yang dianggapnya pihak oposisi hanya bisa berbicara, tanpa berkarya. Perlu dipahami bahwa pihak oposisi merupakan kelompok di luar pemerintah yang berfungsi mengkritisi berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Hal tersebut ditujukan untuk mewujudkan mekanisme checks and balances terhadap berbagai keputusan politik yang diambil pemerintah, selain tentunya prinsip checks and balances diantara lembaga negara maupun institusi pemerintah itu sendiri. Adalah salah bila oposisi dituding dan dipojokkan oleh pemerintah dengan alasan mereka tidak bekerja, hanya berbicara. Justru di sanalah letak fungsi dari oposisi, karena bila ingin bekerja atau berkarya dengan implikasi menyeluruh, mereka harus berposisi sebagai penguasa, bukan oposisi. Oposisi merupakan penyeimbang dan pengontrol dari berbagai kebijakan. Bila ada kebijakan yang dirasa melenceng atau tidak sesuai dengan program yang dicanangkan, pihak oposisilah yang bertindak, tentunya hanya dengan mengeluarkan opini publik.
Akhirnya sampai pada satu kesimpulan, bahwa masing-masing pihak haruslah bersikap objektif dan realistis terhadap apa yang sedang terjadi di masyarakat. Jangan hanya membela kepentingan masing-masing dengan mengatakan pihaknya sudah melakukan hal yang benar, lalu menuding pihak lain melakukan hal yang salah. Sehingga bila kedua pihak tersebut hanya berbicara berdasarkan kepentingan mereka masing-masing, kapan mereka memikirkan yang terbaik bagi rakyat Indonesia?.
Comments
Post a Comment