Melarang Poligami...?
Indonesia kembali hangat. Topik yang muncul berkali-kali di media cetak dan elektronik kali ini cukup menarik diperbincangkan –apalagi dipergunjingkan-, keduanya terkait dengan tokoh nasional, yang sama-sama dikenal masyarakat Indonesia. Aa Gym dan Yahya Zaini. Berita mengenai kedua pibadi tersebut seakan silih berganti menjadi headline dalam tiap media, baik televisi maupun surat kabar.
Meskipun persoalan keduanya sangat berbeda sama sekali, karena nama yang pertama menjadi sorotan sebab melakukan hal yang “dibolehkan” agama, tetapi dikecam masyarakat, sedangkan nama kedua melakukan perbuatan yang jelas-jelas dilarang agama, tetapi menjadi sarana yang empuk bagi lawan-lawan politik yang bersangkutan untuk menjatuhkan posisinya di DPR maupun partainya sendiri.
Agaknya setiap orang kini berlomba-lomba memberikan komentar-komentarnya atas hal tersebut. Terlebih pada persoalan yang sedang menimpa Aa Gym. Banyak pihak yang –diminta atau tidak- turut bersuara mengecam maupun menyatakan mahfum terhadap tindakan poligami da’i dari Bandung tersebut. Dan ternyata itu secara otomatis memantik reaksi, tak tanggung-tanggung dari Sang Jenderal, Presiden negara kita tercinta ini. Bahkan Sang Jenderal sampai mengeluarkan wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah –bukan Undang-undang- tentang perkawinan, dan berniat melarang poligami secara keseluruhan. Apakah itu merupakan tindakan reaktif yang wajar? Atau cuma pengalih persoalan dari Sang Jenderal saja, yang ingin agar masyarakat melupakan dan mengalihkan berbagai persoalan yang timbul akibat keputusan-keputusannya, sehingga secara terpadu dan terarah, masyarakat perlahan mengalihkan pemikirannya kepada persoalan poligami. Dengan mengenyampingkan kesalahan dan tindakan yang tidak perlu atau tidak layak dilakukan dalam masa pemerintahan Sang Jenderal tersebut. Siapa tahu????
Tak kurang persoalan poligami Aa Gym mendapat reaksi dari berbagai kalangan dan pihak-pihak yang merasa berkepentingan di Jakarta sana. Nursyahbani Katjasungkana, anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa, Sintha Nuriyah, sampai aktivis-aktivis gender lainnya mengecam –langsung ataupun tidak- poligami tersebut. Bahkan wacana yang dibangun Sang Jenderal, Sekretaris Negara dan Dirjen Bimas Depag RI sampai pada tahap dibakukannya aturan yang berlaku secara umum bagi seluruh masyarakat Indonesia. Meskipun akhir-akhir ini diperlunak (baca: direvisi) oleh Prof. Nazarudin Umar sendiri, bahwa aturan tersebut dimaksudkan adalah larangan bagi pejabat negara ataupun mantan pejabat negara -yang kembali menjadi masyarakat-, untuk berpoligami. Lebih lanjut, wacana tersebut telah ditanggapi oleh anggota DPR, setidaknya oleh Nursyahbani sendiri, yang menyatakan bahwa DPR tengah melakukan proses perubahan terhadap Undang-undang Perkawinan yang dianggap kelewat uzur. Nursyahbani yang yakin didukung oleh gerakan feminis dan gender dibelakangnya menyatakan bahwa apapun alasannya, poligami adalah ketidakadilan bagi kaum perempuan.
Yang patut dicermati adalah, apakah tindakan Nursyahbani tersebut merupakan tindakan yang murni untuk menjamin dan menyelaraskan hak-hak perempuan, ataukah hanya phobia terhadap efek dilakukannya poligami oleh seorang yang menjadi panutan masyarakat luas (setidaknya sebelum berpoligami, karena mungkin pemikiran masyarakat menjadi berubah setelah itu), sehingga kaum laki-laki akan beramai-ramai melakukan poligami, dan Nursyahbani ketakutan akan hal itu. Bila alasan kedua yang mendekati dugaan itu, alangkah naif dan dangkalnya pemahaman terhadap hal-hal yang sebenarnya jauh lebih baik kalau disikapi dengan lebih bijak.
Akan halnya pernyatan Sang Jenderal, dapat kita maklumi bahwa saat ini tengah dihimpit banyak kesulitan dan masalah yang sama sekali berlum terpecahkan. Kasus Lapindo Brantas, yang ternyata harus melibatkan pemerintah, dibuang-buangnya uang milyaran rupiah untuk helipad yang sama sekali tidak pernah digunakan (kecuali kalau uji coba masuk hitungan dipakai), reshuffle yang terus disuarakan lawan-lawan politik juga sekutu politiknya, sampai pada persoalan-persoalan ”reguler” seperti bencana alam, kekurangan gizi, disintegrasi kecil-kecilan dan lain sebagainya. Tentunya Sang Jenderal cukup sibuk dengan hal-hal itu, tetapi ternyata masih sempat mengikuti perkembangan di dalam negeri – termasuk menonton infotainment sepertinya- sehingga muncullah wacana revisi PP tentang perkawinan tersebut. Agaknya janggal juga bila mendapati kenyataan bahwa seorang Presiden turut bersuara dalam hal yang menurut saya cukup diurus oleh bawahannya di Departemen Agama. Apakah persoalan ini amat serius sehingga Sang Jenderal langsung turun tangan dan berwacana. Apakah tak ada hal yang lebih penting dari itu, mewujudkan janji-janji semasa kampanye presiden misalnya, atau turut menyelesaikan masalah lumpur Sidoarjo yang berlarut-larut tak kunjung selesai.
Persoalan poligami biarlah menjadi urusan pribadi masyarakat, pemerintah hanya berkepentingan bila ada hal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terkait dengan dilakukannya poligami. Bila ngotot masuk ke daerah privat, apa kata orang tentang sosok Sang Demokrat?? Persoalan bahwa hal tersebut akan membangun opini publik yang salah (hanya karena yang berpoligami adalah tokoh terpandang), bukanlah masalah, karena Aa Gym sendiri telah melakukan konfirmasi dan memberikan penjelasan bahwa tindakannya itu boleh dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, dan beliau juga tidak menganjurkan. Jadi apa yang ditakutkan ”orang-orang Jakarta” itu?? Wacana permisive poligami??? Saya kira terlalu mengada-ada.
Akan sangat menggelikan tentunya, ketika negara-negara maju terus-menerus melakukan inovasi dan invensi dalam berbagai bidang, negara-negara berkembang melakukan pembenahan di sana-sini untuk menambal perekonomian mereka yang kacau-balau, atau negara-negara miskin sedang giat-giatnya melakukan pembenahan mengenai ketersediaan bahan pangan dan kesehatan bagi masyarakatnya, sementari kita, Indonesia, masih berkutat di tempat membenahi dan menambahi aturan-aturan yang bersifat privat, apalgi terhadap persoalan yang sudah ada aturannya dalam itab suci Al-Qur’an. Apakah Peraturan Pemerintah akan berani melangkahi aturan yang dibuat oleh Pencipta Pemerintah. Singkatnya apakah Peraturan Pemerintah –bahkan Undang-undang sekalipun akan menyalahi Al-Qur’an. Meskipun tidak ada dalam hierarki peraturan perundang-undangan menurut UU No. 10 Tahun 2004, sehingga Al-Qur'an tidak menjadi salah satu aturan hukum yang ada di Indonesia, apakah Sang Jenderal berani mewujudkan wacana pelarangan poligami itu, yang berarti ”menyalahkan” Al-Qur’an??? Patut ditunggu.
Meskipun persoalan keduanya sangat berbeda sama sekali, karena nama yang pertama menjadi sorotan sebab melakukan hal yang “dibolehkan” agama, tetapi dikecam masyarakat, sedangkan nama kedua melakukan perbuatan yang jelas-jelas dilarang agama, tetapi menjadi sarana yang empuk bagi lawan-lawan politik yang bersangkutan untuk menjatuhkan posisinya di DPR maupun partainya sendiri.
Agaknya setiap orang kini berlomba-lomba memberikan komentar-komentarnya atas hal tersebut. Terlebih pada persoalan yang sedang menimpa Aa Gym. Banyak pihak yang –diminta atau tidak- turut bersuara mengecam maupun menyatakan mahfum terhadap tindakan poligami da’i dari Bandung tersebut. Dan ternyata itu secara otomatis memantik reaksi, tak tanggung-tanggung dari Sang Jenderal, Presiden negara kita tercinta ini. Bahkan Sang Jenderal sampai mengeluarkan wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah –bukan Undang-undang- tentang perkawinan, dan berniat melarang poligami secara keseluruhan. Apakah itu merupakan tindakan reaktif yang wajar? Atau cuma pengalih persoalan dari Sang Jenderal saja, yang ingin agar masyarakat melupakan dan mengalihkan berbagai persoalan yang timbul akibat keputusan-keputusannya, sehingga secara terpadu dan terarah, masyarakat perlahan mengalihkan pemikirannya kepada persoalan poligami. Dengan mengenyampingkan kesalahan dan tindakan yang tidak perlu atau tidak layak dilakukan dalam masa pemerintahan Sang Jenderal tersebut. Siapa tahu????
Tak kurang persoalan poligami Aa Gym mendapat reaksi dari berbagai kalangan dan pihak-pihak yang merasa berkepentingan di Jakarta sana. Nursyahbani Katjasungkana, anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa, Sintha Nuriyah, sampai aktivis-aktivis gender lainnya mengecam –langsung ataupun tidak- poligami tersebut. Bahkan wacana yang dibangun Sang Jenderal, Sekretaris Negara dan Dirjen Bimas Depag RI sampai pada tahap dibakukannya aturan yang berlaku secara umum bagi seluruh masyarakat Indonesia. Meskipun akhir-akhir ini diperlunak (baca: direvisi) oleh Prof. Nazarudin Umar sendiri, bahwa aturan tersebut dimaksudkan adalah larangan bagi pejabat negara ataupun mantan pejabat negara -yang kembali menjadi masyarakat-, untuk berpoligami. Lebih lanjut, wacana tersebut telah ditanggapi oleh anggota DPR, setidaknya oleh Nursyahbani sendiri, yang menyatakan bahwa DPR tengah melakukan proses perubahan terhadap Undang-undang Perkawinan yang dianggap kelewat uzur. Nursyahbani yang yakin didukung oleh gerakan feminis dan gender dibelakangnya menyatakan bahwa apapun alasannya, poligami adalah ketidakadilan bagi kaum perempuan.
Yang patut dicermati adalah, apakah tindakan Nursyahbani tersebut merupakan tindakan yang murni untuk menjamin dan menyelaraskan hak-hak perempuan, ataukah hanya phobia terhadap efek dilakukannya poligami oleh seorang yang menjadi panutan masyarakat luas (setidaknya sebelum berpoligami, karena mungkin pemikiran masyarakat menjadi berubah setelah itu), sehingga kaum laki-laki akan beramai-ramai melakukan poligami, dan Nursyahbani ketakutan akan hal itu. Bila alasan kedua yang mendekati dugaan itu, alangkah naif dan dangkalnya pemahaman terhadap hal-hal yang sebenarnya jauh lebih baik kalau disikapi dengan lebih bijak.
Akan halnya pernyatan Sang Jenderal, dapat kita maklumi bahwa saat ini tengah dihimpit banyak kesulitan dan masalah yang sama sekali berlum terpecahkan. Kasus Lapindo Brantas, yang ternyata harus melibatkan pemerintah, dibuang-buangnya uang milyaran rupiah untuk helipad yang sama sekali tidak pernah digunakan (kecuali kalau uji coba masuk hitungan dipakai), reshuffle yang terus disuarakan lawan-lawan politik juga sekutu politiknya, sampai pada persoalan-persoalan ”reguler” seperti bencana alam, kekurangan gizi, disintegrasi kecil-kecilan dan lain sebagainya. Tentunya Sang Jenderal cukup sibuk dengan hal-hal itu, tetapi ternyata masih sempat mengikuti perkembangan di dalam negeri – termasuk menonton infotainment sepertinya- sehingga muncullah wacana revisi PP tentang perkawinan tersebut. Agaknya janggal juga bila mendapati kenyataan bahwa seorang Presiden turut bersuara dalam hal yang menurut saya cukup diurus oleh bawahannya di Departemen Agama. Apakah persoalan ini amat serius sehingga Sang Jenderal langsung turun tangan dan berwacana. Apakah tak ada hal yang lebih penting dari itu, mewujudkan janji-janji semasa kampanye presiden misalnya, atau turut menyelesaikan masalah lumpur Sidoarjo yang berlarut-larut tak kunjung selesai.
Persoalan poligami biarlah menjadi urusan pribadi masyarakat, pemerintah hanya berkepentingan bila ada hal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terkait dengan dilakukannya poligami. Bila ngotot masuk ke daerah privat, apa kata orang tentang sosok Sang Demokrat?? Persoalan bahwa hal tersebut akan membangun opini publik yang salah (hanya karena yang berpoligami adalah tokoh terpandang), bukanlah masalah, karena Aa Gym sendiri telah melakukan konfirmasi dan memberikan penjelasan bahwa tindakannya itu boleh dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, dan beliau juga tidak menganjurkan. Jadi apa yang ditakutkan ”orang-orang Jakarta” itu?? Wacana permisive poligami??? Saya kira terlalu mengada-ada.
Akan sangat menggelikan tentunya, ketika negara-negara maju terus-menerus melakukan inovasi dan invensi dalam berbagai bidang, negara-negara berkembang melakukan pembenahan di sana-sini untuk menambal perekonomian mereka yang kacau-balau, atau negara-negara miskin sedang giat-giatnya melakukan pembenahan mengenai ketersediaan bahan pangan dan kesehatan bagi masyarakatnya, sementari kita, Indonesia, masih berkutat di tempat membenahi dan menambahi aturan-aturan yang bersifat privat, apalgi terhadap persoalan yang sudah ada aturannya dalam itab suci Al-Qur’an. Apakah Peraturan Pemerintah akan berani melangkahi aturan yang dibuat oleh Pencipta Pemerintah. Singkatnya apakah Peraturan Pemerintah –bahkan Undang-undang sekalipun akan menyalahi Al-Qur’an. Meskipun tidak ada dalam hierarki peraturan perundang-undangan menurut UU No. 10 Tahun 2004, sehingga Al-Qur'an tidak menjadi salah satu aturan hukum yang ada di Indonesia, apakah Sang Jenderal berani mewujudkan wacana pelarangan poligami itu, yang berarti ”menyalahkan” Al-Qur’an??? Patut ditunggu.
Comments
Post a Comment