(BUMERANG) OTONOMI DAERAH

Apakah yang telah didapat dari otonomi daerah? Mungkin pertanyaan itu yang terus mendengung di benak kita. Selepas revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999 dengan diterbitkannnya UU No. 32 tahun 2004, ternyata belum ada perubahan yang siginifikan dalam pembangunan di Majalengka. Proyeksi sebagai Kabupaten berbasis agraris, ternyata masih sebatas wacana yang belum bisa dioptimalkan. Pemberdayaan daerah dengan hasil utama di bidang pertanian seperti yang dimaksudkan, masih sebatas pemberdayaan yang sporadis dan tidak terpadu, belum jelas di mana rangkaian tersebut terputus, tapi yang jelas cita-cita untuk menjadi Kabupaten pemasok hasil-hasil pertanian ibarat jauh panggang dari api.

Rendahnya transparansi dan kurangnya kerelaan pemerintah kabupaten untuk mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada daerah-daerah (dalam hal ini kecamatan), menjadi salah satu faktor penghambat utama dalam pemberdayaan tersebut. Pemerintah Kabupaten Majalengka memiliki sindrom klasik Indonesia, yaitu terlalu memusatkan segala hal dan kegiatan di pusat pemerintahannya, dengan kata lain, Pemerintah Kabupaten Majalengka sangat sentralistik terhadap berbagai kebijakan dan kegiatan yang seharusnya lebih ditekankan pada pola pemberdayaan daerah-daerah. Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten selintas mirip Indonesia di zaman orde baru, yang memusatkan segala kebijakan dan kegiatan serta pembangunannya di Jakarta saja. Majalengka pun setali tiga uang, mereka (pemerintah kabupaten) hanya membangun berbagai sarana dan prasarana penunjung berbagai kegiatan di ibukota kabupaten saja. Sementara daerah-daerah lain dibiarkan dan cenderung hanya menikmati sebagian kecil dari pembangunan, dan itu pun hanya merupakan sisa proyek yang ada.

Menurut keterangan seorang teman yang dapat dipercaya, Majalengka sebenarnya belum siap melaksanakan otonomi daerah. Masih banyak terdapat hal-hal yang berantakan dan belum dipersiapkan dengan matang dalam menghadapi otonomi daerah. Karena otonomi daerah berarti pemberdayaan sendiri berbagai potensi daerah, dan berarti pula pembiayaannya diserahkan kepada daerah. Meskipun proporsinya masih berat ke dana perimbangan dari pemerintah pusat, tetapi pembebanan tanggung jawabnya lebih besar terletak pada pemerintah otonom itu sendiri.

Wacana tentang otonomi daerah menurut rekan yang dapat dipercaya tadi idealnya baru bisa diterapkan di Majalengka sekitar 7-10 tahun yang akan datang, dimana keadaan dan situasi kemasyarakatannya telah cukup maju dan dinamis. Sementara untuk sekarang ini, sebaiknya Majalengka disatukan dengan kabupaten atau Kota lain yang berdekatan. Kabupaten Sumedang atau Kota Cirebon misalnya.

Bukan hendak mengecilkan peranan Pemerintah Kabupaten Majalengka selama ini, tetapi faktanya banyak hal dan kegiatan pembangunan yang sama sekali belum menyentuh masyarakat Majalengka secara keseluruhan. Dan hal ini menyebabkan implikasi yang negatif terhadap kemajuan Majalengka itu sendiri. Dengan memaksakan otonomi daerah, kita malah semakin banyak tertinggal dari daerah lain, yang memiliki visi, misi dan sumberdaya alam serta sumberdaya manusia yang lebih maju dibanding kita. Bermodalkan sumberdaya yang pas-pasan kita hanya bisa “menyewa” tenaga dari daerah lain saja. Sebaliknya, sumberdaya manusia asli Majalengka, cenderung enggan untuk mengabdi di Majalengka karena prospek untuk maju dan berkembang relatif kecil dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jawa Barat.

Agaknya kita harus kembali kepada kesadaran diri masing-masing untuk mau dan mampu memberikan konstribusi yang positif demi kemajuan Majalengka. Sentralisasi dalam hal penyediaan sarana dan prasarana sedapat mungkin dihindarkan. Pemerintah Kabupaten harus memilki iktikad baik untuk memberdayakan kemampuan tiap daerah sesuai dengan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Orang-orang pusat harus mau turun ke daerah-daerah dan berdialog dengan masyarakat setempat guna mengetahui apa yang diperlukan dalam proses pemberdayaan tersebut. Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten harus lebih adil, arif dan proporsional dalam menyelenggarakan pembangunan di daerah-daerah.

“POTENSI YANG SEMAKIN DILUPAKAN ADALAH KEMAMPUAN UNTUK MENDENGARKAN DENGAN BAIK”

BERPIKIR ADALAH PERJUANGAN.


adhef_faz (rakyat biasa yang ingin maju)

Comments

Popular posts from this blog

Lalampahan Abah Sastra

Ex Tunc & Ex Nunc

Kota Bandung dan Kota Malang